Skripsi merupakan salah satu tugas akhir yang menentukan layak atau tidaknya seseorang menyandang gelar sarjana. Skripsi ini merupakan sebuah karya tulis ilmiah yang didasari pada penelitian dengan menggunakan metode dan cara yang sudah terstruktur.
Sedari dulu, selalu berkembang anggapan bahwa skripsi ini sangat menentukan masa depan mahasiswa. Namun nyatanya, skripsi sekarang hanya dijadikan formalitas belaka. Bahkan sejak tahun 2015, Menristek dan Pendidikan Tinggi sudah memiliki wacana untuk menghapuskan skripsi. Hal ini dilakukan karena maraknya sistem jual-beli skripsi ataupun copy-paste skripsi.
Tidak semua orang yang menyandang gelar mahasiswa memiliki bakat dalam membuat skripsi ini. Namun tetap harus menyelesaikannya karena merupakan syarat utama kelulusan. Oleh karenanya, jasa pembuat skripsi sangat laris dan diminati. Hasilnya adalah, banyak mahasiswa yang lulus tanpa memiliki pengetahuan yang cukup, bahkan ada yang sama sekali tidak mengerti tentang apa yang dibahas dalam skripsinya.
Tak jarang pula kita temukan, ada mahasiswa yang mengerjakan skripsi bukan karena minatnya, melainkan karena tuntutan dari dosen pengajar. Karena apa yang diminati mahasiswa dipandang tak layak untuk dijadikan penelitian, maka dosen pun biasanya memberikan pilihan yang terkadang bukan pada basic sang mahasiswa. Namun mahasiswa lebih memilih apa yang disarankan sang dosen, agar nilainya bisa aman. Ia tidak lagi memikirkan apakah skripsi itu sesuai dengan minatnya atau tidak.
Selain hanya sebagai formalitas belaka, dibuat dengan menggunkan jasa pembuatan skripsi, dan dibuat hanya karena tuntutan dosen, skripsi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Beberapa kali mahasiswa harus mencetak ulang skripsi yang harus di revisi. Biaya mencetak skripsi, mencetak hasil revisi, menjilid, mengcopy, dan masih banyak lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan karya tulis ini. Biaya tersebut tidak bisa dikatakan murah bagi kalangan mahasiswa.
Pada tahun 2013 lalu, di UIN Ar Raniry Banda Aceh, pernah ditemukan kasus pembakaran skripsi mahasiswa oleh pihak fakultas. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa skripsi bukanlah pilihan terbaik untuk menentukan lulus atau tidaknya mahasiswa menjadi sarjana, karena hasil berupa skripsi itupun bisa dibakar dan dibuang dengan mudahnya oleh pihak perguruan tinggi. Lengkapnya bisa baca di sini.
Senada dengan hal itu, di tahun 2015, pernah pula ditemukan foto ribuan skripsi yang dibuang oleh salah satu pihak kampus di Makassar. Skripsi-skripsi itu pun akhirnya dimasukkan ke dalam karung dan kemudian dibawa menggunakan mobil rongsokan. Tentu saja hal ini semakin membuat mahasiswa tidak bersemangat untuk menyelesaikan skripsinya. Lengkapnya bisa baca di sini.
Selain itu, skripsi juga tidak pernah dijadikan tolak ukur ketika ingin melamar pekerjaan. Biasanya pengalaman organisasi dan kemampuan terhadap suatu bidang lebih diutamakan ketimbang hasil karya tulis berupa skripsi. Hasilnya, skripsi yang mati-matian dibuat oleh mahasiswa, akhirnya hanya digunakan sebagai kartu agar bisa lulus menjadi seorang sarjana. Dan setelah lulus menjadi seoarng sarjana, kartu itu bisa di buang kapanpun, karena memang tak lagi bisa digunakan.
Pemerintah seharusnya lebih memberi perhatian agar permasalahan tentang skripsi ini dapat menemukan titik terang. Pemerintah memiliki kekuasaan yang sangat besar, sehingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah akan lebih berpengaruh dan terasa efeknya oleh mahasiswa.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghindari pembuatan skripsi sebagai tolak ukur kelulusan mahasiswa yaitu dengan membuat program lain selain skripsi, yang dapat memberikan ilmu lebih langsung kepada mahasiswa, sesuai dangan program studi serta minat dan bakat yang dimiliki.