Lihat ke Halaman Asli

Rafinita Aditia

Mahasiswi program Komunikasi dan Penyiaran Islam

Napak Tilas Jejak Agung Khalifah Ali bin Abi Thalib, Tak Takut Tumbang Meski Berjuta Kali Ditentang

Diperbarui: 27 Mei 2019   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Khalifah Ali bin Abi Thalib | Sumber : Buku Suara Keadilan Sosok Agung Khalifah Ali bin Abi Thalib R.A Karya George Jordac.

Pernahkan anda mendengar kisah raja yang tak pernah makan kenyang bila rakyat sekelilingnya kelaparan, dia tidak mau mengenakan pakaian yang bagus bila yang lain berpakaian jelek, dia tidak mau mengumpulkan kekayaan karena banyak orang miskin yang lebih membutuhkan.

Semenanjung Arabia menjadi saksi kelahiran sang Ali muda. Ali bin Abi Thalib dilahirkan pada tanggal 13 Rajab tepat 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad SAW. Dari sejak Ali masih belia, Nabi sudah dekat sekali dengannya dan berkata bahwa Ali adalah saudaranya. Setiap hari Ali selalu mendapat pelukan nabi Muhammad SAW, ditimang, disuapi makan, hingga seluruh aktiftas mereka kerjakan bersama. Bertahun tahun Ali hidup dalam atmosfer suci bersama sang kekasih Allah ini. Bahkan tak seorangpun yang dapat sedekat ini dengan nabi kecuali Ali.

Ali melewatkan hari harinya di rumah kecil dengan penuh rasa suka, menikah dengan putri kesayangan Rasul Allah, hingga ia syahid di tangan Ibnu Muljam. Walaupun seorang khalifah, ia memuaskan hidupnya dengan kesederhanaan yang tak satupun muslimin mau menjalaninya. Ia tak pernah mau menumpuk batu bata atau menyusun alang alang. Ia tak mau makan kecuali dengan roti yang ia tumbuk dengan tangannya sendiri.

Setiap harinya, Ali menyempatkan waktu berkeliling kota Mekah, melihat segala kesusahan yang dialami kaumnya. Membagi makanan seadanya yang ia miliki, meksipun hanya sekedar selembar roti. Membantu memerah susu, menyapu halaman masjid, hingga membersihkan sanitari. Khalifah tak pernah canggung melakukan segala hal dengan tangannya sendiri.

Pada masa kekhalifahannya, masih berdiri Baitul Maal, yaitu badan yang mengurus tentang harta masyarakat. Banyak harta masyarakat arab yang dititipkan disana waktu itu. Para pengurus Baitul Maal telah menyisihkan bagian untuk Ali, namun Ali tidak mau sedikitpun mengambil bagian untuknya.

Pernah suatu ketika, Ali berkunjung ke Baitul Maal untuk mengecek kinerja disana. Ia membawa putrinya, Ummi Kultsum yang saat itu masih berusia sangat muda. Ali meninggalkan Ummi Kultsum barang sebentar di ruang tunggu. Ketika ia sudah selesai dengan urusannya, ia mendapati Ummi Kultsum sedang bermain sembari mengenakan kalung permata di lehernya. Ia begitu marah melihat kejadian tersebut. Ali memanggil salah seorang pegawai di baitul maal lalu berkata, "Apa yang telah kau perbuat pada putriku ?". Namun sang pegawai meminta maaf dan menyatakan bahwa kalung itu hanya dipinjamkan ke putri khalifah, karena sang putri sangat menyukai kalung itu. Ali langsung membuka nya dan mengembalikan barang yang bukan haknya dan keluarganya tersebut.

Dalam sejarah dunia tak ada satupun sifat seseorang yang sebanding dengan sifat sederhana dan keadilan yang dimiliki Ali. Ketika perang jamal usai, banyak harta benda musuh bertebaran di medan perang, namun Ali tidak mau mengambil sedikitpun dari harta tersebut. Ia memerintahkan para kaum nya untuk mengumpulkan harta itu dan disimpan di Baitul Maal, untuk nanti digunakan sebagai keperluan negara dan fakir miskin.

Kebijakan Ali ini banyak sekali ditentang oleh para pejabat di sekitarnya. Ali sering dihina, di caci maki, bahkan disakiti karena kesederhanaan dan ketidakcintaannya pada dunia. Namun Allah maha baik, Ali selalu dilindungi dalam setiap langkah dan perbuatan yang ia kerjakan.

Abu Hurairah berkata bahwa Nabi pernah berbicara kepada para sahabatnya, "Bila kalian ingin mengetahui pengetahuan Adam, keteguhan Nuh, kebiasaan Ibrahim, do'a Musa, ketakwaan Isa, dan petunjuk Muhammad dalam diri satu orang, lihatlah pada orang yang sedang menuju ke arah kalian." Ketika para sahabat mengangkat kepala, mereka melihat Ali.

19 Ramadhan menjadi hari yang menggoreskan luka bagi seluruh pengikut Ali bin Abi Thalib. Ketika waktu subuh, angin bertiup, dan langit meneteskan air mata. Ali bin Abi Thalib pergi ke mesjid dengan perlahan, seolah olah kedua kakinya berbicara dengan bumi dan bercerita kepadanya tentang saat saat yang suram. Ali tiba di mesjid lalu bersujud ke hadapan Allah yang Maha Kuasa, Abdur Rahman bin Muljam juga masuk ke mesjid sambil membawa pedang yang matanya beracun, lalu menetakkan pedang itu ke kepala imam sedemikian rupa, hingga 2 hari sang imam harus menahan sakit akibat hal itu. Sampai akhirnya Allah memanggil Ali untuk meninggalkan kejamnya dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline