Perjanjian paris juga disebut sebagai COP21 merupakan bagian dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC), yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Perjanjian ini mulai berlaku pada 4 November 2016, telah ditandatangani oleh 195 negara dan telah diratifikasi oleh 190 negara pada Januari 2021.
Dari tanggal 30 November hingga 11 Desember 2015, sebanyak 196 perwakilan negara bertemu di Prancis dalam konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menjadi pertemuan mengenai iklim global paling penting dan paling ambisius yang pernah diadakan. Dengan tujuan untuk membatasi emisi gas rumah kaca ke tingkat yang akan mencegah suhu global meningkat lebih dari 2 derajat celcius di atas patokan suhu yang ditetapkan sebelum awal revolusi industri.
Latar Belakang
Pertemuan tersebut merupakan bagian dari Konferensi Tingkat Tingggi Bumi 1992 di Rio de Jeneiro, Brasil, yang menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC). Melihat kebutuhan untuk memperkuat pengurangan emisi, pada tahun 1997, negara-negara mengadopsi Protokol Kyoto. Protokol Kyoto secara hukum mengikat negara-negara maju pada target pengurangan emisi. Namun, kesepakatan itu secara luas diyakini tidak efektif karena dua negara penghasil karbon dioksida teratas di dunia yaitu China dan Amerika Serikat, memilih untuk tidak berpartisipasi.
Isi
Tujuan utama Perjanjian Paris adalah untuk memperkuat respon global terhadap ancaman perubahan iklim dengan menjaga kenaikan suhu global pada abad ini jauh di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri dan untuk mengejar upaya untuk membatasi kenaikan suhu lebih jauh ke 1,5 derajat Celcius. Selain itu, Perjanjian Paris bertujuan untuk meningkatkan kemampuan negara-negara untuk menangani dampak perubahan iklim, dan membuat anggaran yang konsisten dengan emisi gas rumah kaca yang rendah dan tahan terhadap iklim. Untuk mencapai tujuan tersebut, mobilisasi dan penyediaan sumber daya keuangan yang tepat, kerangka kerja teknologi yang baru, dan peningkatan kapasitas harus diterapkan, sehingga mendukung negara-negara berkembang dan negara-negara yang paling rentan.
Perjanjian paris mengharuskan semua pihak untuk mengedepankan upaya terbaik mereka melalui "nationally determined contributions" (NDCs). NDCs merupakan persyaratan bahwa semua pihak melaporkan secara teratur tentang emisi mereka dan upaya implementasinya. Dan akan ada inventarisasi global setiap 5 tahun untuk menilai kemajuan kolektif menuju pencapaian tujuan perjanjian dan untuk menginformasikan tindakan masing-masing lebih lanjut oleh para pihak.
Indonesia
Bagi Indonesia, Kesepakatan Paris telah mengakomodasi dorongan Indonesia untuk terciptanya pengaturan global yang mencerminkan keseimbangan, dan keadilan. Pelaksanaan kewajiban negara berkembang disesuaikan dengan kemampuan nasional dan adanya dukungan, terutama pendanaan.
Lebih lanjut, Kesepakatan tersebut juga mencakup pentingnya upaya penurunan emisi dan adaptasi, pelestarian laut dan hutan, peningkatan renewable energy, dan peran serta masyarakat adat (local communities) dalam pengendalian perubahan iklim, yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia.