Lihat ke Halaman Asli

Rafik Septiana

Universitas Airlangga

Andai Saya Hidup di Lingkungan Berbeda

Diperbarui: 29 Mei 2022   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setiap orang lahir dan besar di lingkungan yang berbeda termasuk saya. Lahir dan berkembang di padatnya Kota Jakarta.  Dari kecil, saya suka sekali bermain dengan siapapun di lingkungan sekitar, tidak heran saya memiliki teman yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Rata-rata dari mereka adalah keluarga yang memiliki pendapatan menengah ke bawah. 

Begitu juga dengan pendidikan, saya selalu bersekolah di kota yang saya tinggali sekarang. Saya mengenal dan melihat orang berkembang di sini, orang dewasa menjadi tua, remaja menjadi dewasa, anak-anak menjadi remaja, bayi menjadi anak-anak, dan generasi-generasi baru pun lahir. 

Seiring berkembangnya zaman pula, teknologi baru lahir seperti komputer, smartphone, ataupun internet. Istilah baru pun lahir yang tak kalah menarik dan menjadi pembicaraan banyak orang seperti Internet Of Things, Artificial intelligence, dan big data. Teknologi seperti ini tentu masih sangat baru di telinga banyak orang.

 Dunia berubah dengan cepat, namun tidak dengan lingkungan saya. Dari saya kecil, tidak banyak berubah dari kampung tempat tinggal saya sekarang, Kecuali bangunan-bangunan yang diperbaharui. Orang-orang tetap sama, memiliki pendapatan yang sama, dan kesejahteraan yang sama. Membuat saya bertanya-tanya "apakah benar dunia sedang berubah sangat cepat atau orang-orang di lingkungan saya yang tanpa disadari sudah ditinggalkan dunia dan cepat atau lambat akan dimusnahkan dunia?". 

Beruntung lah saya lahir di keluarga yang memiliki pendapatan tetap dan mampu memberi hak pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Hal ini membuat saya terpapar istilah teknologi, terlebih saya memasuki jurusan teknologi sains data yang memang dibuat untuk menjawab tantangan global. Tetapi dari hati terdalam, saya  memikirkan orang-orang di lingkungan saya yang tidak seberuntung saya. 

Hidup di tengah ketidakpastian pendidikan dan memikirkan untuk melakukan penghematan demi makan keesokan harinya. Mereka terjebak dalam lingkaran yang saya sebut sendiri sebagai lingkaran Aristoteles. 

Lingkaran Aristoteles saya namakan demikiran, berasal dari kutipan Aristoteles yaitu "Kita adalah apa yang kita lakukan secara berulang. Maka keunggulan bukanlah tindakan, tapi kebiasaan". 

Kutipan tersebut diambil dari sebuah buku berjudul ikigai yang saya baca di bulan ini. Terdengar positif bagi banyak orang, tetapi saya memaknai kutipan ini dengan makna yang berbeda.  Kutipan ini saya maknai menggambarkan bagaimana pembentukan karakter seseorang dari kebiasaanya yang ia lakukan sehari-hari. 

Orang yang tumbuh di lingkungan yang tidak mendukung untuk berkembang akan cenderung mendapatkan kebiasaan dari orang sekitarnya secara berulang-ulang. Hal ini membuat anak-anak yang lahir di lingkungan tersebut, tidak memiliki pandangan yang lebih luas dari anak-anak yang lahir dan berkembang di lingkungan yang mendukung. 

Mungkin ada beberapa orang yang secara khusus dapat memiliki pandangan yang luas dan mampu keluar dari  lingkungan yang buruk, tetapi itu hanya sebagian kecil saja dibandingkan dengan anak-anak yang pada akhirnya menurunkan kebiasaan buruk dari lingkungan sekitarnya.

Berbeda dengan mereka yang sejak awal lahir di lingkungan yang baik. Mereka memiliki gambaran dan pandangan yang luas untuk meraih masa depan yang diinginkan. Ketika pandangan itu tertanam dalam diri mereka, keluarga dan lingkungan mereka juga akan mendukung mereka untuk berkembang . 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline