Lihat ke Halaman Asli

Marapi dan Bunga Abadi, Keberanian Tanpa Restu

Diperbarui: 7 Agustus 2015   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Menginjakkan kaki di sebuah ciptaan Tuhan yang megah, tidak semua orang memimpikannya. Saya dan beberapa rekan lainnya menjadi sekelompok manusia yang diciptakan Tuhan dengan keinginan menyentuh keindahan ciptaan-Nya yang 'tersembunyi'.

Kala itu, Jum'at,22 Maret 2015, dua minggu setelah salah satu event tingkat nasional yang usai kami gelar dan beberapa hari sebelum cetak tabloid yang dilanjutkan dengan Musyawar Besar. Bulan Maret, bulan yang cukup mengurus tenaga dan pikiran saat itu. Maka jauh-jauh hari saya tetapkan hati untuk bergabung melepas penat sebentar ke Gunung Marapi, agar Maret menjadi bulan yang tak terlupakan. (EYAAAA!!!!)

Sebelum keberangkatan, kami telah mempersiapkan logistik sesempurna mungkin. Meminjam dan membeli berbagai perlengkapan yang kami butuhkan selama berada di Marapi. Jujur saja. Semuanya kami cari di hari H keberangkatan meski kami telah memiliki list nya seminggu sebelumnya. Namun karena kesibukan yang tak menentu, semua baru bisa kami lakukan di hari H. Saya ingat, Kak Icha dan Bg Ruli ada ujian di hari itu. Juga Bg Fikri yang harus mengikuti beberapa kunjungan ke beberapa Lembaga Pers  Mahasiswa di Kota Padang. Bg Fikri baru selesai saat Magrib yang membuat beberapa orang yang sudah lama menunggu di rumah Bg Arief galinggaman (hihihi).

Kami berkumpul di rumah Bg Arief di daerah Pasir Putih (kalau ndak salah lo sih haha). Saya, Amoy, Bg Ruli, dan Bg Fikri datang terakhir ke sana karena harus menunggu Bg Fikri selesai kunjungan. Sesampainya di sana tour guide kami kala itu, Bg Riski (Eh, lupo namo abg tu sia hehehe) membongkar dan kemudian merapikan kembali isi tas carrier kami untuk memastikan semua logiistik cukup.

Kami berangkat dari Tabiang sekitar 23.00 menuju Koto Baru Padang Panjang dan sampai setelah menempuh satu setengah jam perjalanan. Para leleki menggunakan sepeda motor dan perempuan dengan mobil tavel. Kemudian Bg Riski mendaftarkan nama kami semua ke 'penjaga Gunung Marapi'. Ada Bg Arief, Bg Pran, Bg Irfan, Bg Fikri,  Bg Ruli, Kak Desi, Kak  Meli, Kak Icha, Kak Tan, Amoy, gue, ada dua orang cowokdan dua orang cewek lagi yang baru gue kenal saat itu dan alhamdulillah gue lupa semua namanya.

Hawa dingin sudah mulai tercium di kaki Gunung Marapi. Jaket dan kaos kaki yang gue gunakan tidak ampuh untuk menangkal dingin merasuki tuvuh gue. Dengan penuh syukur dan bahagia, gue menutup mata dan menarik nafas dalam. "Ini adalah hawa kebebasan. Ini KEBEBASAN. Nyata. HAHAHA," ucap gue dalam hati seraya tak bisa menyembunyikan senyuman licik.

Kemudian kami memulai perjalanan. Tidak lupa kami berdoa kepada Sang Maha Kuasa. "Jalan jan pisah-pisah samo kawan. kalau beko ado yang mancaliak atau mandanga yang aneh diam se surang jan disabuik-sabuik. Bisuak kalau lah turun baru buliah carito apo nan nampak," begitu Bg Riski berpesan sebelum kami naik.

"Lah. Kan lai ngecek ka urang tuo sadonyo kan?" tanya Bg Riski kemudian.

"lai bang," jawab yang lain sepersekian detik kemudian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline