Lihat ke Halaman Asli

Tuhan Sekreatif Itu

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Buk, amak mintak uang dua ribu."
"Dua ribu? Untuk apa uang dua ribu?"
"Amak tidak punya uang untuk ongkos pulang"




Aku mengerti apa yang sedang terjadi. Sedari tadi aku menguping percakapan si pemilik kedai dengan amak yang biasa membantu-bantu di kedai ini.
Ini adalah kedai lotek favorit kami. Kami suka menghabiskan beberapa menit bahkan bisa sampai beberapa jam untuk sekedar makan lotek dan menghabiskan waktu bersama.
Siang itu aku hanya berdua dengan Anggi. Akhir-akhir ini, aku kebih suka beraktivitas sedikit lebih bersama Anggi dari pada teman-teman lainnya. Sebab, dia gila dan apa adanya. Ku rasa untuk berteman, aku tak punya banyak kriteria. Yang penting apa adanya dan jauh dari berpura-pura. Bagiku, pertemanan sesederhana itu.


Aku dan Anggi memesan lotek dua porsi.  Entah apa yang saat itu aku bicarakan bersamanya aku lupa. Yang pasti kami menikmati lotek ini.


"Kalau Mak ijuih benar  tadi menelpon ke sini dan tidak saya angkat, pasti nomor mak Ijuih ada di daftar panggilan tak terjawab." kata si pemilik kedai.


"Tadi saya ingin memberi tahukan kalau saya tidak bisa datang pagi. Karena saya menghadiri rapat wali murid di sekolah si Ros." jelas Mak ijuih


"Emangnya pergi rapat jam 7 pagi hingga tidak sempat pergi ke sini. Piring banyak yang harus di cuci tadi pagi, dan saya yang harus mengerjakannya." kata pemilik kedai kesal


"Iya tadi pagi saya pergi jam 7," bela Mak Ijuih


Ah, aku tahu Mak Ijuih ini berbohong. Mana mungkin rapat wali murid sepagi itu, batinku.


"Alaahh.. mak Ijuih. Saya tahu rapat wali murid itu seperti apa. Mustahil rapatnya jam tujuh. Saya juga punya anak yang sedang sekolah." ketus pemilik kedai.


Mak Ijuih hanya diam berdiri dan menatap tv.


"Sudah jam setengah satu mau ngapain lagi Mak Ijuih di sini. Pulang saja! Percuma masih di sini." ucap pemilik kedai.


Mak Ijuih pun pergi.


Aku sadari tadi menguping pembicaraan mereka dengan hikmat. Sehingga aku mengerti apa masalahnya. Mak Ijuih baru datang jam satu siang. Padahal seharusnya ia sudah datang pagi-pagi sekali untuk menyapu kedai dan mencuci piring kotor sisa jualan kemarin. Si pemilik kedai kesal karena tiga hal yaitu Mak Ijuih tidak datang tadi pagi sehingga untukbmenyapu dan mencuci piring. Kemudian Mak Ijuih berbohong karena mengatakan sudah berusaha memberi tahu pemilik kedai bahwa dia tidak datang dan juga berbohong mengatakan  rapat dimulai jam tujuh pagi.
Ku rasa ini memang salah Mak Ijuih hingga wajar pemilik kedai marah.


Piring Anggi sudah kosong. Sedangkan masih beesisa setengah porsi lotek lagi di piringku.


Seorang gadis berjilbab merah membawa tumpukan piring bersih. Sepertinya baru siap ia cuci. Ia berhenti di depan kedai ini. Aku tahu, ember berisi piring-piring berat terlihat dari mimik wajah gadis itu yang menahan berat. Dia sama dengan Mak Ijuih tadi. Profesinya sebagai penolong pemilik kedai sebelah. ( Aku orang minang. Dan di Minang, menyebut pembantu itu terasa kasar).


"Ngapain sama Amak buk." tanyanya.


Oh jadi Mak Ijuih itu ibunya, ucapku dalam hati


"Amak mu itu ada-ada saja perangainya. Aku suruh pulang saja. Sekarang dia di mana?" tanya pemilik kedai.


"Sedang duduk di tangga sana." Ia menunjuk dengan memonyongkan bibirnya mengarah kanan. Sebab tangannya memegang ember berisi tumpukan piring.


"Ngapaindia duduk di sana?" tanya pemilik kedai


"Buk, Amak minta uang dua ribu." jawabnya


"Untuk apa uang dua ribu?" Pemilik kedai kembali bertanya.


"Untuk ongkos pulang, Buk. Amak tak punya uang untuk ongkos pulang." balasnya.


Jlebbb... bagai petir menyambar pohon kelapa. Bagai baru saja tak sengaja bertemu seseorang yang dicintai dalam diam. Hatiku bergetar kemudian berdegub kencang.


Ya Tuhan. Nyatakah yang baru saja ku dengar? Mak Ijuih tak punya uang dua ribu untuk ongkos pulang. Ku harap aku salah dengar.


"Mengapa bukan dia saja yang memintanya sendiri." lanjut pemilik kedai.
"Mungkin dia lupa buk." bela si gadis
Wahai pemilik bulan, ternyata ini nyata. Aku tidak salah dengar. Si pemilik kedai memberikan uang kertas dua ribu rupiah kepada si gadis.
Setelah meletakkan ember berisi piring ke kedai sebelah, si gadis bergegas menuju tangga tempat Mak Ijuih, ibunya, menunggu uang dua ribu untuk ongkos pulang.
Aku menggeleng tak percaya.
Ternyata Tuhan sekreatif itu, batinku. Benar-benar kreatif. Di saat ribuan orang di hari itu mungkin sedang berada di toko baju atau sepatu, mak Ijuih tak punya uang dua ribu untuk ongkos pulang.
Coba bayangkan jika tadi saat hendak ke kadai ini dia menyenggol telur orang dan harus menggantinya. Apa yang bisa dilakukannya?
Aku tak bisa menerima kenyataan bahwa Tuhan sekreatif ini. Tak pernah sekalipun benakku membayangkan ada kenyataan sepert ini.


Aku sadar Tuhan itu kaya. Tidak ada seorang pun yang bisa menandingi kekayaannya. Bagaimana tidak, matahari, bulan, dan bintang itu miliknya,
Tidak ada satupun yang sanggup mengakusisi kepemilikan tersebut.


Laut dan gunung yang dipuja manusia itu baru satu per satu triliyun kekayaan yang dimilikinya,
Namun Tuhan. sampai detik ini kejadian tersebut masih menyisakan tanya mengapa di benak ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline