Lihat ke Halaman Asli

Rafijep

Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjran

Minimnya Literasi Buntut dari Pelaku Kekerasan Seksual di Gunadarma Minum Air Kencing

Diperbarui: 5 Januari 2023   09:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus kekerasan seksual tentu bisa bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, bahkan kepada siapa saja. Jangan dibayangkan bahwa kekerasan seksual hanya terjadi di jalan sepi dengan kondisi malam hari. Kekerasan seksual bisa terjadi di siang hari di tempat yang ramai, seperti di tengah kepadatan pengguna kereta.

Saya tidak akan membahas masalah kekerasan seksual secara garis besar, sebab saya masih berstatus mahasiswa dan kekerasan seksual adalah masalah yang sangat kompleks. Artikel ini akan berfokus untuk membahas mengenai polemik penangan kasus kekerasan seksual yang terjadi  di lingkungan kampus. Data menurut Komnas Perempuan, lingkungan universitas menjadi lingkungan yang paling sering terjadi kejadian kekerasan seksual sejak tahun 2015 sampai 2021. Miris bukan tempat yang paling sakral dan tinggi dalam rumpun ilmu pengetahuan ternyata menempati urutan pertama sebagai lokasi yang sering terjadi kekerasan seksual terbanyak. 

Sebagai seorang mahasiswa jurnalis, sudah biasa rasanya di negeri ini membaca berita kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam kampus. Mulai dari, kasus kekerasan seksual yang terjadi sesama anggota Organisasi Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (LAMRI) hingga kekerasan seksual yang dilakukan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau kepada mahasiswa perempuannya saat menjalani bimbingan skripsi. Tidak hanya itu, hari ini juga kita tengah dihebohkan dengan kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Gunadarma dan berujung kepada persekusi sadis yang dilakukan oleh mahasiswa kepada sang pelaku.

Mahasiswa, dosen, hingga petinggi universitas ternyata bisa terkena tindakan kekerasan seksual atau bahkan bisa menjadi pelaku tindakan kekerasan seksual. Permasalahan kekerasan seksual di kampus adalah masalah yang serius dan semua pihak harus bersama-sama untuk membereskan polemik ini. Menurut saya sebagai seorang mahasiswa, polemik yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual di kampus adalah minimnya literasi terhadap ilmu mengenai kekerasan seksual, baik dari pihak universitas maupun mahasiswa. 

Peraturan Menteri kebudayan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (PERMENDIKBUD RISTEK) No. 30 Tahun 2021 menjadi bekal utama dalam menyikapi masalah kekerasan seksual. Peraturan ini sudah sangat mencakup bagaimana tindakan atau sikap yang harus dilakukan oleh pihak terkait, baik universitas maupun mahasiswa dalam menyikapi kekerasan seksual. Seharusnya hadirnya peraturan ini bisa jadi jawaban atas polemik yang ada, apabila semua pihak membaca dan memahaminya dengan baik.

Namun, sebagai seorang mahasiswa, realita di lapangan sesungguhnya pemahaman mengenai Permendikbud Ristek ini hanya dipahami oleh mereka yang geram akan kekerasan seksual di kampus. Sementara, kebanyakan pihak di kampus masih mengabaikan isi dari peraturan tersebut yang  nantinya akan berdampak kepada penanganan yang salah. 

Mari tengok kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Gunadarma awal Desember lalu. Kasus tersebut viral di media sosial atas tindakan mahasiswa yang melakukan persekusi kepada pelaku perbuatan kekerasan seksual. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Tirto.id, kronologi kekerasan seksual terjadi pada tanggal 2 Desember 2022 ketika pelaku dan korban bertemu di area toilet kampus. 

Pelaku memanggil korban ke area toilet dan mendorongnya ke arah koridor yang sepi kemudian memaksa korban untuk berciuman dengan pelaku. Korban Pun menolak ajakan tersebut dengan menepis tangannya dan berkata "apaansi goblok nggak jelas banget tolol". Pelaku pun membalas dengan berkata "sekali-kali saja" sambil membentuk angka satu menggunakan jarinya. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku sangat tidak terpuji dan sudah bisa dipastikan adalah bentuk kekerasan seksual. Namun, penanganan kasusnya yang paling mengagetkan saya.

Mahasiswa Gunadarma yang geram atas tindakan pelaku, mengambil langkah pendek dengan mempersekusi pelaku, mengikat di tiang listrik, menyundut rokok, ditelanjangi, hingga dipaksa meminum air kencing. Video penganiayaan pelaku tersebut viral di media sosial dan kini sedang ditangani oleh pihak universitas dan kepolisian. Apa yang dilakukan oleh pelaku tidak dibenarkan sama sekali, tetapi tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa juga tidak tepat.

Bilamana mengacu pada Permendikbud Ristek No 30 tahun 2022, pihak universitas menjadi aktor utama yang seharusnya mengkoordinasikan permasalahan seperti ini. Satuan Tugas seharusnya sudah dimiliki oleh Universitas Gunadarma sebagaimana tertulis dalam Permendikbud Ristek No 30 tahun 2022 pasal 6 ayat 3 sebagai bentuk pencegahan kekerasan seksual. Berdasarkan pengamatan saya dalam pemberitaan kasus tersebut di media, pihak Gunadarma telah melakukan konsolidasi antara pelaku dan korban dan kasusnya tengah ditangani.

Sayangnya, oknum mahasiswa Gunadarma lebih memilih melakukan persekusi kepada pelaku dengan alasan yang masih belum jelas. Hal ini membuat kasus tersebut menjadi semakin panjang, ada pelaku kekerasan seksual dan ada juga pelaku persekusi. Menurut Damar Juniarto sebagai Anggota Koalisi Anti Persekusi, persekusi merupakan  memburu seseorang atau golongan tertentu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap individu atau kelompok dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline