Lihat ke Halaman Asli

Aku Menyesal Mencontek

Diperbarui: 27 September 2024   20:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku Menyesal Mencontek

Pagi itu, kelas terasa begitu sunyi. Hanya suara gesekan pensil dan pena di atas kertas yang terdengar. Ulangan Matematika tengah berlangsung. Aku duduk di kursiku, menatap soal-soal yang terlihat seperti kode-kode rahasia tak terbaca. Rumus-rumus yang semalam kubaca sekilas melayang entah ke mana. Keringat dingin mulai mengalir di dahiku.

Aku tahu aku harus lulus ulangan ini. Nilai Matematikaku sudah berada di ujung tanduk, dan jika kali ini aku gagal, bisa dipastikan orangtuaku akan dipanggil ke sekolah. Mereka pasti kecewa. Pandangan mataku tertuju pada Calia, teman sebangku yang terkenal jenius di kelas. Ia dengan tenang mengerjakan soal-soal itu seakan semuanya mudah.

Hatiku mulai goyah. Di pojok meja, tersembunyi kertas kecil yang berisi rumus-rumus yang sempat kutulis semalam. Awalnya hanya untuk berjaga-jaga, tapi sekarang kertas itu memanggilku, menawarkan jalan keluar dari kesulitan ini. Tanpa berpikir panjang, aku melirik ke arah guru yang sedang membelakangi kelas, lalu membuka kertas kecil itu di balik meja.

Segera saja, aku menyalin beberapa jawaban dari kertas itu. Perasaan lega langsung menghampiri, seolah beban besar terangkat dari pundakku. Setelah selesai, aku menutup kembali kertas itu dan melanjutkan ulangan dengan perasaan sedikit lebih tenang. "Ah, beres," gumamku dalam hati.

Namun, ketika ulangan berakhir, sesuatu mulai mengganjal dalam diriku. Aku merasa tak tenang, seperti ada yang salah. Tapi, aku menghibur diri, "Nggak apa-apa, toh nggak ada yang tahu."

Hari berikutnya, saat hasil ulangan dibagikan, aku mendapatkan nilai sempurna, 100. Sementara itu, Calia, yang biasanya selalu mendapat nilai tinggi, terlihat muram. Ketika ia melihat nilainya, ia mengernyit. "80? Kok bisa ya?" gumamnya.

Selama beberapa detik, aku merasa bangga, tapi perasaan itu segera digantikan oleh rasa bersalah. Calia yang selalu membantu menjelaskan pelajaran kepadaku, sekarang terlihat kecewa. Bagaimana mungkin aku merasa senang dengan nilai yang kudapatkan secara curang? Bahkan, aku mengalahkan Calia, tapi dengan cara yang tidak adil.

Seminggu setelah ulangan, Bu Vani, guru Matematika, mengumumkan bahwa akan ada ulangan susulan untuk beberapa siswa. Aku tidak terkejut ketika namaku dipanggil. "Lho, kok kamu ikut, sih?" tanya Calia bingung.

Aku hanya menunduk. Hati ini terasa semakin berat. Setelah kelas usai, aku menemui Bu Vani di ruang guru.

"Bu, saya mau mengaku," kataku dengan suara bergetar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline