Peranan gender dalam kelangsungan berpolitik maupun sebagai budaya seringkali dibedakan secara kemampuan. Melihat kelamin pria identic dengan jakun, sedangkan perempuan yang memiliki payudara dan memiliki kemampuan mengandung, melahirkan maupun menyusui anak. Sifat tersebut tidak bisa dipertukarkan dikarenakan merupakan ketentuan tuhan atau kodrat manusia. Hal tersebut berpengaruh pada konsep gender itu sendiri yang diartikan sebagai ciri dan sifat melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Sebagai contoh perempuan biasanya dikonstruksikan sebagai makhluk lemah lembut, perasa, emosional dan jiwa keibuan. Ciri dan sifat tersebut ini kerap juga dipanggil sebagai feminine. Sedangkan laki-laki yang bersifat kuat, rasional, jantan dan perkasa, ciri ini biasa disebut sebagai maskulin. Melihat Faktor-faktor yang membentuk atau mengkonstruksi sehingga lahir perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah kultur dan struktur sosial, oleh cara pandang (ideologi) kehidupan seseorang, yang telah menjadi budaya selama berabad-abad. Akibatnya, karakteristik yang sebenarnya bersifat relatif ini seringkali berubah menjadi suatu yang dianggap alami.
Secara pemahaman antara seks dan gender ini ini sangat diperlukan karena dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Determinasi hal tersebut disebabkan karena adanya kaitan yang erat antara perbedaan gender dan ketidak adilan gender atau bahkan dengan struktur diskriminasi dan ketidakadilan dalam masyarakat luas. Untuk mengatasi ketidakadilan dan diskriminasi gender tersebut diperlukan perjuangan kesetaraan gender. Pada dasarnya semua actor feminis ini berangkat dari kesadaran mereka dengan adanya ketidaksetaraan, ketidakadilan dan diskriminasi, namun mereka masing-masing memiliki alasan dan analisis yang berbeda-beda sehingga muncul berbagai aliran feminism.
Terjadi beberapa manifestasi ketidakadilan dan diskriminasi dalam tumbuhnya negara berkembang dikarenakan timbulnya asumsi gender yang tidak setara tersebut. Terjadi marginalisasi kemiskinan terhadap kaum perempuan contoh nya bisa kita lihat banyaknya pekerja perempuan yang tergusur dari sector pertanian akibat program Revolusi Hijau dan mekanisasi pertanian. Diskriminasi lainnya juga bisa muncul dalam bentuk diskriminasi pekerjaan, sehingga perempuan (yang dianggap lemah) mendapat pekerjaan seperti guru, sekertaris, perawat, pembantu rumah tangga yang bergaji rendah jenis sekalipun sama sama mendapatkan pekerjaan yang sama, mirisnya kaum perempuan masih digaji rendah dibanding kaum laki-laki. Tidak hanya untuk perempuan saja isu gender ini sebenarnya dapat merugikan bagi kaum laki-laki juga. Di banyak negara laki-laki dipaksa bertugas sebagai Angkatan bersenjata, dan di Sebagian negara besar hanya kaum laki-laki saja yang dikirim ke medan pertempuran. Kebanyakan pria yang melakukan pekerjaan yang lebih berbahaya, seperti pemadam kebakaran dan kepolisian. Meskipun wanita telah berperang dalam perang dan memasuki pasukan polisi dan departemen pemadam kebakaran, pengaturan gender dari sebagian besar masyarakat berasumsi bahwa wanita akan melakukan pekerjaan melahirkan dan merawat untuk anak-anak sementara laki-laki akan melakukan pekerjaan melindungi dan mendukung mereka secara ekonomis.
Salah satu faktor penyebab terjadinya diskriminasi gender ini ialah hukum di negara yang tidak sama sekali mendukung pada pro feminism, melihat dari tahun 2000 sampai dengan 2020 undang undang kita hanya sedikit yang membuktikan bahwa negara Indonesia sebagai negara yang ramah gender. Undang -- undang tersebut. Pemilihan umum pada tahun 2004 sebenarnya menjadi entry point bagi perkembangan sistem demokrasi karena telah melakukan beberapa perubahan penting diantaranya;
Pertama
dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada pertengahan tahun 2002 yang salah satu fungsinya akan menjadi lembaga hukum tertinggi dalam menyelesaikan sengketa konstitusi dan perundang-undangan, termasuk sengketa pemilihan umum.
Kedua
dibukanya keran aspirasi. daerah dalam perumusan aspirasi nasional melalui Otonomi Daerah dan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota dipilih langsung oleh rakyat, menggantikan utusan daerah dan utusan golongan yang dulu keanggotaan diangkat oleh Presiden.
Ketiga
ditingkatkan partisipasi perempuan dalam bentuk affirmative action dalam undang-undang Pemilihan Umum. Undang-Undang Nomor. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum 2004 pasal 65 ayat menyebutkan ketentuan bahwa setiap partai dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Disamping itu penyelenggaraan
Keempat