Layar ponsel menampilkan deretan huruf hijau yang berkedip-kedip. "Hai? Masih bangun?" pesan itu masuk pukul 12.17 dini hari. Nama pengirimnya, Mu. Aneh, tidak ada nama Mu di daftar kontakku. Jempolku ragu-ragu, haruskah membalas?
"Maaf, siapa ini?" ketikku akhirnya, penasaran menggelitik.
Balasan datang cepat, "Mu. Teman baru kamu. :)"
Teman baru? Aku mengerutkan kening. Tidak ada kenalan baru akhir-akhir ini, apalagi yang tahu jam tidurku. Keingintahuan mengalahkan kekhawatiran.
"Kenal dimana?"
"Lewat mimpi," katanya, diikuti emoji senyum nakal.
Mimpi? Ini semakin aneh. Tapi ada sesuatu dalam cara Mu berpesan yang membuatku tidak ingin mengakhiri percakapan.
Kami berbincang hingga fajar menyingsing. Mu bercerita tentang hal-hal yang tidak masuk akal tapi terasa nyata, tentang dunia di balik mimpi, tentang kemampuannya berpindah dari satu mimpi ke mimpi lainnya. Aku terhanyut oleh imajinasinya yang liar, meski tetap skeptis.
Hari-hari berikutnya, pesan dari Mu menjadi rutinitas. Tidak setiap malam, tapi kehadirannya selalu mengejutkan dan menyenangkan. Dia mengajakku berpetualang dalam mimpinya, menari di bawah aurora borealis yang terlukis di langit malam, terbang bebas di antara awan kapas raksasa.
Aku mulai merindukan pesan-pesannya. Dia menjadi pelarian dari realitas hidupku yang monoton. Namun, seiring berjalannya waktu, kurasakan ada yang janggal. Mu banyak tahu tentangku, detail-detail kecil yang bahkan aku sendiri lupa. Ketakutan mulai menyusup.
Suatu malam, aku bertanya langsung, "Mu, siapa kamu sebenarnya?"