Lihat ke Halaman Asli

Rafif Ahmad Fadilah

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Di Atas Tanah

Diperbarui: 2 Februari 2024   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari terik membakar kulit Ari, keringatnya bercucuran membasahi kaus lusuhnya. Dia berdiri tegak di atas gundukan tanah merah, memandang hamparan sawah kering di depannya. Perlahan, Ari menghela napas, menghirup aroma debu yang dibawa angin. Inilah tanah warisan kakeknya, tanah yang telah menghidupi keluarganya selama bergenerasi. Tapi kini, tanah itu seperti perempuan tua renta, kurus dan tak berdaya.

Musim kemarau berkepanjangan membuat sumur mengering, saluran irigasi tak lagi mengalirkan air. Padi yang baru ditanam layu lunglai, daunnya menguning seperti harapan yang terbakar matahari. Ari meremas tangannya, gurat kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. Dia ingat cerita kakeknya tentang masa lalu, saat sawah ini subur dan hijau, saat panen selalu melimpah ruah.

"Tanah ini milikmu, Ari," kata kakeknya kala itu, suaranya parau tapi penuh semangat. "Jagalah dia baik-baik, dia akan memberimu kehidupan."

Ari tak pernah melupakan pesan kakeknya. Dia selalu merawat tanah ini dengan sepenuh hati, membajak, menanam, dan memanen. Tapi kali ini, apa yang bisa dia lakukan? Tanah ini seolah tak lagi merespons jerih payahnya.

Hari-hari berikutnya terasa berat. Melihat sawah kering terkapar, hati Ari seperti digorok pisau. Dia tak sanggup membayangkan keluarganya kelaparan, tak sanggup melihat ibunya menangis sedih. Putus asa mulai merayap, bisikan-bisikan untuk menyerah semakin lantang.

Suatu malam, ketika Ari duduk termenung di bawah bintang, dia melihat elang terbang tinggi di angkasa. Elang itu terbang dengan gagah, menantang teriknya matahari. "Tanah mungkin kering," pikir Ari, "tapi langit masih luas. Mungkin ada solusi yang belum kulihat."

Keesokan harinya, Ari tidak pergi ke sawah. Dia berjalan jauh ke perpustakaan desa, mencari buku-buku tentang pertanian dan konservasi air. Dia membaca sampai malam, matanya lelah tapi semangatnya membuncah. Dia menemukan teknik-teknik baru untuk menghemat air, membuat lubang resapan air, dan menanam tanaman tahan kekeringan.

Hari-hari berikutnya, Ari sibuk bekerja. Dia mengajak warga desa bergotong royong menggali lubang resapan air, membuat saluran irigasi baru, dan menanam pohon di sekitar sawah. Awalnya, banyak yang meragukan usaha Ari. Mereka menganggapnya mimpi di siang bolong. Tapi Ari tak menyerah. Dia terus bekerja keras, membuktikan bahwa harapan tak boleh lenyap meski bumi dilanda kekeringan.

Perlahan, usaha Ari mulai membuahkan hasil. Setelah hujan turun, air tertampung di lubang resapan dan mengalir ke saluran irigasi. Sawah yang tadinya kering mulai menghijau kembali. Senyum merekah di wajah para warga, semangat mereka tumbuh bersama tunas-tunas padi yang kembali menari ditiup angin.

"Aku tak pernah lupa pesan kakek," kata Ari kepada warga desa yang berkumpul di sawahnya. "Kita mungkin tak bisa mengendalikan alam, tapi kita bisa mengendalikan usaha kita. Dan selama kita tak menyerah, harapan akan selalu tumbuh di atas tanah ini."

Cerita Ari dan perjuangannya melawan kekeringan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dia membuktikan bahwa di atas tanah yang gersang, harapan masih bisa ditanam, dan dengan kerja keras dan kebersamaan, kehidupan bisa terus bersemi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline