Lihat ke Halaman Asli

Rafif Ahmad Fadilah

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Sesuap Nasi

Diperbarui: 1 Februari 2024   15:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari belum sepenuhnya bangun, sinarnya tipis menerobos gubuk bambu reot milik Mbah Karto. Perutnya keroncongan, seperti lagu pengantar tidur semalam yang tak kunjung dibalas sepiring nasi. Usia yang renta tak lagi mampu ia paksa untuk mencari nafkah. Satu-satunya penghasilan, memungut barang bekas, sudah tak lagi memberi cukup.

Batuk kering menggetarkan tubuhnya. Ia meraba kantong lusuh, hanya ada beberapa koin receh. Tak cukup untuk semangkuk nasi hangat. Keputusasaan menusuk hati, tapi Mbah Karto tak ingin menyerah. Ia tertatih keluar, berharap keajaiban pagi membawa sesuap nasi untuknya.

Perjalanan Mbah Karto terhenti di depan warung Bu Surti. Aroma masakan menggodanya, tetapi ia tahu diri. Tak mungkin ia masuk dan memesan makanan. Ia hanya terpaku pada seorang anak kecil yang sedang asyik menghabiskan bubur ayam.

Anak itu, bernama Tono, cucu Bu Surti. Melihat kakek tua di ambang pintu, ia menghentikan suapannya. Matanya menatap penuh selidik. Bu Surti yang melihat itu, menegur, "Tono, makan yang benar. Jangan lihat-lihat!"

Tono tak menjawab. Ia bangkit dari kursinya, menghampiri Mbah Karto. Dengan tangan mungilnya, ia menyodorkan sesendok bubur ayam, "Kek, makan ini."

Mbah Karto terkejut. Ia ingin menolak, tapi melihat mata Tono yang tulus, ia tak tega. Dengan gemetar, ia menerima sendok itu. Bubur hangat meluncur ke tenggorokannya, membawa rasa syukur yang tak terhingga.

"Enak, Nak?" tanya Mbah Karto pelan.

Tono mengangguk sambil tersenyum. "Nenek bilang, berbagi itu enak, Kek."

Bu Surti yang menyaksikan itu terharu. Ia segera menyiapkan segelas teh hangat dan sepiring nasi bungkus untuk Mbah Karto. "Mari, kek, makan lagi. Jangan sungkan," ucapnya lembut.

Mbah Karto tak bisa berkata-kata. Bulir air mata mengalir di pipinya. Sepiring nasi dan segelas teh terasa seperti hidangan terlezat seumur hidupnya. Bukan hanya karena ia lapar, tapi karena dibungkus dengan kebaikan dan kemurnian hati.

Hari itu, Mbah Karto tak pulang dengan tangan kosong. Ia membawa bekal kebaikan yang akan menghangatkan hari-harinya. Ia belajar, bahwa sesuap nasi tak hanya mengenyangkan perut, tapi juga bisa menghidupkan harapan dan kehangatan jiwa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline