Lihat ke Halaman Asli

Rafi Akbar

Penulis yang Kurang berpengalaman

Kurikulum Melenceng, Guru Gaji "Buta"

Diperbarui: 28 Oktober 2019   10:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pagi, bangun tidur, telat masuk sekolah, dihukum lagi. Itu memang hal "wajar" untuk siswa "rebel" seperti saya. Saya memang orang orang kurang minat terhadap ilmu eksak seperti disekolah apalagi jumlahnya mencapai sepuluh(faktanya waktu SD, diswasta. Saya menyukai Matematika, IPA, dan IPS tapi berubah karena cara mengajar guru Negeri sewaktu SMP. Sayapun seringkali tidak mengerjakan PR sama sekali karena saya tahu guru saya pun memberi saya PR karena "tak sanggup" mengajar 30 orang dalam 1-2 jam pelajaran yang diulang hingga 6-8 kali dalam sehari dikelas yang berbeda selama 5-6 hari seminggu! tentu hal ini sangat membosankan bagi saya sendiri.

Jika bicara gaji, tentu saya mengakui gaji guru sangat tidak worth it untuk mengajar dengan pekerjaan membosankan seperti itu. Tapi kenyataannya mereka tak ada satupun yang bergerak protes menginginkan perubahan terhadap "budaya" seperti ini, baik siswanya sendiri bahkan guru sebagai pelaku pendidikan itu sendiri. Tidak ada yang mencoba menaikan kualitas mengajar dan belajar kita sebagai guru dan siswa. Saya menyebut kurikulum sekarang adalah kurikulum autopilot.

Mengapa? karena mayoritas guru memberikan PR hanya untuk mengisi nilai di rapor tanpa ada effort guru untuk mendidik dan memonitor siswanya, tentu hal ini sangat melenceng dari makna pendidikan sebenarnya. Bayangkan saja, setiap pertemuan guru saya (mayoritas) hanya mengopi materi dari buku terbitan gramedia ke papan tulis. Kita? salin kembali ke buku. Bahkan tanpa dijelaskan sama sekali kita diberi soal yang sama sekali tidak kita ketahui apa yang ada dihadapan kita. Bagaimana cara mengerjakan soal soal ini? Jawabannya ya pasti google!

Memang dalam kurikulum 2013, maaf Kurikulum Melenceng ini mendorong siswa untuk mencari tahu sendiri dan guru hanya memberikan arahan jika ada kesalahan dari tugas yang dikerjakan oleh siswa itu. Namun nyatanya banyak guru hanya memberi tugas langsung tanpa mencoba menjelaskan lebih detil tentang materi yang kita pelajari. Kalau begitu, kita belajar di Ruangguru pun juga bisa. Malahan di Ruangguru kita sudah diberi materi yang sangat bagus dibanding cara mengajar guru kita disekolah.

Belum lagi tentang cara perlakuan siswa oleh guru dan guru oleh siswa. Seringkali kita mendapatkan berita tentang perlakuan buruk siswa ke guru itu. seperti dicubit hingga berujung adu jotos hingga penjara. namun baik dari siswa dan guru ada oknumnya. begini deh, saya adalah siswa yang sempat mengalami tekanan secara mental selama SMP. Setiap masalah, yang paling saya benci adalah mereka, guru saya membicarakan soal masalah seperti nilai, kelakuan didepan teman-teman saya yang lain.

Hal ini benar-benar mengganggu mental saya selama SMP. Saya memiliki sedikit teman, tidak percaya diri. Untung saja saya waktu kelas 1 SMP masuk ke OSIS. Ini menjadi pelarian saya saat mental saya tertekan. namun sekarang, semenjak tahun lalu saya merdeka dari tekanan mental semacam ini. saya pun bisa Percaya diri lagi dalam pertemanan walau nilai saya tidak bisa dikejar lagi alias tetap dibawah KKM. yang penting kesehatan mental dahulu lah hahaha..

Nilai bukan solusi untuk pendidikan yang kompetitif, justru 'merusak' siswa

Nilai, saya benci nilai jika nilai itu dihubungkan dengan rapor apalagi dibandingkan dengan teman saya yang lain. saya percaya bahwa setiap orang memiliki minat dan bakatnya masing-masing. jika setiap orang dipaksa mengerjakan soal ujian yang sama dan dengan kecerdasan dibidang yang berbeda-beda. maka guru sudah memenjarakan cita-cita siswanya sendiri. hal yang ironi tapi nyata kejadian. belum lagi dalam beberapa sekolah, ranking masih sangat erat dijadikan patokan kecerdasan peserta didik. alasannya karena beberapa Perguruan Tinggi masih mematok ranking siswa selama Sekolah Menengah.

Hal ini buruk untuk pendidikan Indonesia. jika disatu sekolah terdapat 500 siswa yang dibagi 15 kelas maka yang dianggap siswa hanya ranking alias 3 besar dalam satu kelas, dikali 15 maka hanya ada 45 dari 500 siswa yang benar-benar dianggap sukses. lalu, 455 lainnya mau dikemanakan? bukankah UUD telah membunyikan "Mencerdaskan kehidupan bangsa" sedangkan secara praktik hanya beberapa yang dianggap cerdas tanpa mencoba meng-encourage siswa yang tidak masuk ranking agar setidaknya siswa mengerti konsep materi yang dipelajarinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline