Lihat ke Halaman Asli

Maukah Calon Presiden Mendengarkan Curhatku?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak bangga dengan negaranya sendiri? Warga Amerika, Inggris, Jepang, Korea, maupun Singapura, tentu sangat bangga dengan negaranya. Mereka terlahir dalam keadaan sistem pemerintahan yang baik. Sebagai WNI, aku juga begitu bangga meski masih banyak kekurangan disana sini. Negaraku kaya akan sumber daya alam sehingga menjadi rebutan asing. Negaraku pun begitu beranekaragam suku, budaya, dan kekayaan intelektual lainnya sehingga menjadi salah satu pusat pengembangan budaya di Asia. Tapi, sayang seribu sayang. Dengan begitu banyaknya peluang-peluang emas tersebut, negaraku belum mampu mewujudkan idealisme negaranya sendiri, yakni idealisme Pancasila.

Beberapa tahun yang lalu, H, seorang teman perempuanku baru saja lulus kuliah. Ia berniat untuk melamar pekerjaan sebagai auditor di salah satu kantor akuntan publik ternama. Setelah hampir tiga bulan bersabar, H tak kunjung mendapat pekerjaan. Usut punya usut, salah seorang temannya menyarankan agar ia membuka jilbabnya. Awalnya H menolak dengan alasan privasi agama. Namun melihat keadaan orang tuanya yang tidak terlalu mampu, akhirnya ia memutuskan melepas jilbab dan kembali melamar kerja sebagai auditor. Aneh tapi nyata. H diterima di salah satu kantor akuntan publik asing yang merupakan sepuluh besar terbaik. Setelah bekerja beberapa bulan, H memutuskan ingin kembali berjilbab. Akan tetapi, tindak tanduknya mulai tercium oleh atasannya sehingga ia mengurungkan niatnya. Terakhir aku bertemu dengan H, ia telah memakai rok diatas lutut dan meninggalkan celana panjangnya.

Akhir 2012 silam, aku mengikuti reuni dengan teman-temanku dari berbagai angkatan. Ada salah seorang teman yang tergolong cerdas. Sebut saja M. Saat lulus kuliah, indeks prestasinya hampir mencapai tiga koma lima. Namun ia datang dengan wajah yang kurang bersemangat. Maklum, reuni adalah waktu dimana semua orang tumpah ruah bercerita mengenai pekerjaan dan kehidupan pribadi. Saat ditanya oleh seorang teman, M mengaku belum bekerja hingga kini. Alasannya sederhana, dari begitu banyak panggilan kerja, belum ada satu perusahaan pun yang menerimanya. Aku merasa tak percaya. M adalah pria yang cerdas. Meskipun memiliki fisik dan penampilan yang sangat biasa, seharusnya ia sudah bekerja sejak dua tahun yang lalu. Menurut beberapa orang temanku, beberapa perusahaan mulai menerapkan aturan tidak baku dalam perekrutan karyawannya. Selain lulus psikotes dan wawancara, HRD maupun user mulai melihat penampilan secara fisik dari calon pegawai. Penampilan yang dimaksud bukan hanya sekedar berpakaian rapi dan bersih, melainkan wajah yang good looking, tinggi yang semampai, dan sense of fashion. Entah benar atau tidak, tergantung pengalaman anda masing-masing. Jika perusahaan membutuhkan satu orang karyawan baru dan tersedia tiga calon, maka sudah dipastikan perusahaan akan memilih karyawan yang tinggi, wajah menarik, dan “pintar ngomong” (aktif berkomunikasi), meskipun skill akademisnya biasa-biasa saja.

Berbeda dengan kasus di atas, seorang temanku, Y, hampir tiga tahun mengabdi di sebuah grup perusahaan swasta ternama. Ia mulai bekerja sejak kuliah tingkat akhir. Pekerjaannya selalu mendapat pujian dan performance-nya selalu masuk yang terbaik. Dengan prestasi tersebut, ia mendapatkan banyak bonus. Namun hal yang selalu diharapkannya tak kunjung tiba. Ia tidak juga diangkat sebagai supervisor. Awalnya ia bersabar dan selalu berpikiran positif. Setelah tiga tahun lebih, Y memutuskan untuk resign dan mencari perusahaan baru. Setelah beberapa minggu bekerja, Y berusaha mengontak temannya di perusahaan lama. Ia menanyakan bagaimana posisinya di perusahaan lama apakah sudah terisi atau belum. Temannya mengonfirmasi bahwa sudah terisi bahkan sudah ada supervisor baru dari eksternal perusahaan yang merupakan WNI keturunan. Tentu saja Y kaget.Ia saja yang sudah lama bekerja tidak diberi kesempatan oleh perusahaan, namun perusahaan lebih memilih orang lain dengan latar belakang golongan yang sama.

Bisakah ini disebut dengan KKN? Apapun itu namanya, harusnya tiga kasus ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin bangsa ini. Betapa banyak orang yang bersekolah tinggi-tinggi bahkan hingga ke luar negeri untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. Sayangnya, sistem ketenagakerjaan di negeri ini masih carut marut seperti kasus diatas.

Wahai Pak Jokowi, Prabowo, Wiranto, Aburizal Bakrie, Gita Wirjawan, dan calon presiden RI 2014, maukah anda mendengarkan curhatku?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline