Beberapa hari lalu, televisi Indonesia dihebohkan oleh pemberitaan kasus pelecehan seksual (lebih tepatnya pencabulan) terhadap anak TK yang terjadi di sebuah sekolah internasional bernama Jakarta International School. Pemberitaan tersebut begitu heboh dan disiarkan terus-menerut dengan melibatkan banyak pakar ahli pendidikan hingga mengundang selebriti untuk ditanya pendapatnya. Bahkan, saking hebohnya, berita tentang Jakarta International School sudah dimuat di media asing.
Saya terbesit untuk mengecek seheboh apa pemberitaan ini di media social Facebook dan Twitter. Ternyata, jauh lebih ramai. Mayoritas pengguna social media mengutuk pelaku pencabulan. Setelah lebih dari tiga hari pemberitaan, kasus Jakarta International School justru semakin menjadi-jadi. Bukan hanya kasus pencabulan yang terungkap. Kasus ini juga mengungkap ketiadaan ijin pendirian TK JIS (kindergarden). Saya sontak kaget. Tidak percaya. Lantas, saya mencari tahu lebih dalam mengenai Jakarta International School, ijin pendirian taman kanak-kanak, seluk beluk sekolah internasional maupun kronologis kejadian dari sumber yang terpercaya.
Korban pencabulan berinisial A-K, berusia 5 tahun. Sang ibu muncul di media dengan pemaparan yang menggebu-gebu, mengatakan bahwa anaknya terkencing di celana, rasa nyeri dan tidak mau menggunakan celana dalam. Kemudian ditunjukkanlah sebuah kertas berisi laporan pemeriksaan media yang menyatakan “Positif Herpes”. Herpes kelamin adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh perpindahan virus dari satu organ kelamin ke organ kelamin lainnya melalui hubungan seks. Setelah kasus ini masuk dalam ranah kepolisian, diketahui bahwa pelakunya adalah cleaning service yang menjaga toilet TK JIS. Polisi menahan dua orang cleaning service, seorang pria dan wanita. Saya berpikir, mengerikan sekali ya seorang petugas kebersihan bisa melakukan pencabulan di dalam toilet. Apa sebegitu gampangnya terjadi?
Ibu korban A-K begitu gencar berbicara di media. Hampir setiap malam saya melihat wajahnya yang blur di televisi. Akan tetapi, sang ibu lambat laun mengungkapkan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pencabulan anaknya. Sang ibu menuntut TK JIS untuk ditutup karena tidak ada ijin operasional. Loh, ada apa ini? Kebetulan atau punya motif tertentu?
Jakarta International School didirikan oleh asosiasi United Nation Staff Associate pada tahun 1951. Sekolah ini memiliki ijin operasional resmi. Tentu saja, masa ada sekolah megah berdiri di pinggir jalan kawasan elit terogong selama 63 tahun, orang-orang pada tidak tahu? Pertanyaannya adalah apa betul TK JIS tidak punya ijin? Padahal awal peresmian sekolah JIS tahun 1951 adalah untuk semua jenjang mulai dari TK sampai SMA. Lalu, kenapa TK tidak punya ijin? Apakah masuk akal sekolah yang diresmikan dan disaksikan oleh kemendikbud setelah berpuluh-puluh tahun baru dikatakan tidak punya ijin? Apakah ini hanya skenario?
Usut punya usut, pada masa pemerintahan sebelumnya, Direktoran Jenderal Pendidikan Dasar Indonesia ternyata membawahi pendidikan TK dan SD. Artinya, baik TK maupun SD yang ingin berdiri dilaporkan ke satu lembaga saja. Pada tahun 2010, Dirjen Pendidikan Dasar memisahkan diri, menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Direktorat Jenderal Pendidikan Usia Dini (Dirjen PAUD). Inilah letak masalahnya. Pecahnya dua dirjen menyebabkan ijin pendirian sekolah untuk TK harus dilaporkan ulang. Timothy Car, kepala sekolah JIS, mengatakan bahwa beberapa tahun sebelum kasus ini, pihak JIS sudah mengirimkan laporan perijinan ulang ke Dirjen PAUD namun tidak ditanggapi. Mulai terasa anehnya kasus ini. Kenapa? Karena ternyata, Dirjen PAUD di sebuah televisi swasta mengatakan “Dari 111 sekolah internasional di Indonesia, hanya 4 sekolah internasional yang mengurus ijin pendirian TK, dan JIS tidak termasuk”. Anda bisa menyimpulkan sendiri kan siapa yang salah sekarang?
Akibat dari gembar-gembor kasus JIS ini, pihak kemendikbud akhirnya mengirimkan surat penutupan operasional TK JIS mulai 22 April 2014. Tentu si ibu korban A-K bisa bernapas lega karena aspirasinya didengar. Tetapi, ibu murid TK JIS lainnya sungguh bersedih. Karena anaknya putus sekolah. Padahal, biaya SPP TK JIS sungguh mahal (menurut saya standar harga amerika), yakni Rp 20 juta / bulan. Pengakuan biaya fantastis ini dinyatakan oleh ibu korban. Kembali, media sosial heboh dan menghujat JIS dengan statement “JIS sekolah apa pemerasan sih? Bayar 20 juta sebulan tapi dicabuli”.Sungguh tidak nyambung komentar tersebut, karena tidak ada korelasinya sekolah biaya mahal dengan pemerasan apalagi pencabulan. Silakan anda cek di sekolah internasional manapun di berbagai negara di dunia, apakah ada sekolah internasional berbiaya murah? Tentu tidak ada. Belum lagi komentar yang membandingkan sekolah JIS dengan sekolah internasional lainnya (yang ternyata salah kaprah). Komentar yang semakin ngawur membuat saya akhirnya menulis artikel ini. Sekedar pencerahan agar cara berpikir masyarakat tidak membabi buta. Masyarakat awam bahkan masih salah kaprah membedakan antara sekolah internasional “sungguhan” dengan sekolah internasional “abal-abal”. Kenapa saya berani menulis seperti itu?
Sekolah internasional adalah sekolah yang dibuat, didirikan, dan dikelola oleh lembaga asing dari luar negeri. Artinya, kalau sekolah tersebut didirikan dan dikelola oleh yayasan pendidikan dalam negeri, itu jelas bukan sekolah internasional. Lalu, kenapa ada sekolah yang berani menaruh kata “international” padahal yang mendirikan dan mengelola adalahorang lokal? Itu merupakan strategi marketing untuk meraup keuntungan. Harusnya label “international” tidak boleh sembarangan dipakai. Pemerintah lagi-lagi harus tindak tegas mencopot label “international abal-abal” pada beberapa sekolah. sementara itu, ada juga sekolah yang didirikan dan dikelola oleh lokal namun mengadopsi kurikulum internasional. Sekolah ini disebut National Plus.
International SchoolFounderNational PlusFounder
Jakarta International SchoolUSAGlobal JayaPT. Jaya Konstruksi
British International SchoolUKPelita HarapanPT. Lippo
Nez Zealand International SchoolNZBinus Int’l SchoolUniversitas Binus
Sekali lagi, hati-hati, jangan sampai salah kaprah. Sekolah internasional itu didirikan dan dikelola oleh orang asing sehingga wajib didaftarkan di asosiasi sekolah luar negeri (ACISIS), Kedutaan Asing negara asal sekolah dan Dirjen Keimigrasian. Berbeda dengan sekolah National Plus yang hanya perlu ijin pendirian dan operasional tanpa embel-embel lainnya, kecuali menggunakan tenaga pengajar asing wajib terdaftar di Dirjen Keimigrasian. Perbedaan lainnya adalah jumlah kuota siswa asing dalam perekrutan calon siswa baru setiap angkatannya. Sekolah internasional mewajibkan siswa asing harus lebih banyak dibandingkan siswa lokal. Bisa 60:40, 70:30, atau 80:20. Sementara sekolah National Plus, siswa lokal harus lebih banyak dari pada siswa asing. Hal ini juga berdampak pada perekrutan guru. Sekolah internasional lebih banyak mempekerjakan guru asing sementara National Plus tentunya lebih banyak merekrut guru lokal toh karena sekolah asli Indonesia.
Cukup panjang ya cerita saya, sampai delapan paragraf. Semoga tulisan ini bisa mencerahkan masyarakat yang kurang paham bahkan tidak tahu sama sekali mengenai kasus ini dan salah kaprah tentang sekolah internasional.
Salam,
Raffreds Northman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H