Bermula dari ajakan Dokter Posma di grup Kompasiana Palembang, akhirnya saya bisa menonton film ini. Keluarga Cemara memang telah jadi salah satu 'a must see' film bagi saya. Sejak diumumkannya pembuatan film ini ditambah cast yang menurut saya apik, maka tidak berlebihan jika film ini jadi salah satu pembuka tahun yang amat ditunggu oleh masyarakat Indonesia.
Keluarga Cemara bercerita tentang sebuah keluarga yang terdiri atas Abah, Emak, Euis, dan Ara yang terpaksa pindah ke pinggiran kota Bogor dari Jakarta karena bangkrut akibat ditipu. Premis ini sebetulnya sama dengan serial Keluarga Cemara yang tayang di televisi puluhan tahun silam.
Namun bedanya, sekarang film ini dibalut dengan unsur milenial. Sebagai seseorang yang mudah sekali lupa, saya pun sama sekali nggak ingat jalan cerita serial ini terdahulu. Jadi, saat menonton Sabtu (5/1) lalu, saya memposisikan diri saya sebagai 'penonton baru'. Tanpa ekspektasi.
Lantas, bagaimana?
Layaknya sebuah course Keluarga Cemara berhasil menyajikan drama keluarga yang lengkap. Film ini sukses 'menjual kenangan' bagi para penontonnya. Beberapa adegan, sebut saja saling goda antara Euis yang cantiknya kebangetan bersama teman-teman barunya berhasil bikin saya nostalgia.
Beberapa humor juga diselipkan sebagai pendamping drama yang intens. Dialog-dialognya juga realistis. Jika disuruh memilih karakter favorit, pilihan saya justru jatuh kepada Asri Welas sang Loan Woman. Bukan berarti para pemeran utamanya nggak baik memerankan, akan tetapi Asri Welas bisa mencuri perhatian.
Satu hal yang saya suka dari film ini adalah realistis. Bagi saya, premis film 'jatuh miskin' sudah amat sering dibikin oleh para sineas. Film Indonesia terakhir yang saya tonton pun memiliki premis demikian.
Namun, perbedaannya justru pada ceritanya yang kuat. Konflik Abah, Emak, Euis, dan Ara tidak berkutat untuk kembali menjadi kaya. Masing-masing karakternya memiliki konflik masing-masing. Jatuh miskin adalah pemicu, dan menjadi kaya bukan tujuan akhirnya. Sisi inilah yang bikin drama keluarga ini menjadi lebih humanis.
Kita dibawa terhanyut dengan presepsi masing-masing tokoh, bagaimana mereka berinteraksi, dan dapat beradaptasi. Hingga akhirnya, semuanya dapat terselesaikan dengan akhir yang tidak dipaksakan. Dan tagline 'Harta yang Paling Berharga adalah Keluarga' dapat disampaikan dengan baik.
Terlepas dari iklan yang ada di mana-mana, lalu logika yang saya kurang mengerti, Keluarga Cemara adalah tontonan keluarga yang apik. Jika kalian menginginkan film yang bikin nostalgia dan senyum-senyum sendiri dan nyees pada akhirnya, ini adalah tontonan yang tepat apalagi liat adek Zara.
Terima kasih buat Dok Posma dan Keluatga Kompasiana Palembang buat satu hati berharganya. Me purple you.