Di sebuah sekolah menengah pertama, saat lonceng jam istirahat berbunyi, aku pertama kali bertemu dengan Marcel. Dia kakak kelasku, seorang siswa kelas 9 yang dikenal ramah dan mudah bergaul. Sementara itu, aku masih duduk di kelas 8, menjalani masa-masa yang penuh warna.
Pertemuan awal kami sederhana. Siang itu, kantin sekolah ramai seperti biasa. Aku dan teman-temanku sedang asyik memilih makanan. Marcel, yang sedang jajan dengan teman-temannya, menyapaku dengan senyuman ringan.
Dia tersenyum kecil dan kembali berbincang dengan teman-temannya. Sapaan itu singkat, tapi cukup untuk membuatku memikirkannya sepanjang hari.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Marcel tiba-tiba mengirimiku pesan di media sosial. "Hai, aku Marcel. Kenalan, dong!" begitu isi pesannya.
Aku terkejut, tapi juga senang. Kami mulai berbincang melalui chat, saling bertukar cerita tentang sekolah, hobi, dan banyak hal lainnya. Seiring waktu, obrolan kami semakin intens, hingga suatu malam dia mengirim pesan yang membuatku terpaku.
"Aku mau ngomong sesuatu. Aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacarku?" tulisnya.
Jantungku berdebar kencang membaca pesan itu. Aku tersenyum kecil, lalu mengetik jawaban dengan tangan gemetar. "Iya, aku mau," balasku singkat.
Sejak saat itu, kami resmi bersama. Walau awalnya terasa canggung, hubungan kami berjalan manis, penuh canda dan perhatian. Aku merasa istimewa, dan Marcel selalu tahu caranya membuatku bahagia.
*Awal yang Manis*
Hubungan kami dimulai dengan begitu indah. Marcel tahu caranya membuatku merasa spesial.Rasanya seperti aku adalah satu-satunya orang di dunia yang ia pedulikan.
Kami tidak pernah sekalipun bertengkar, apalagi soal hal-hal besar seperti perselingkuhan. Segalanya berjalan mulus, penuh canda tawa, dan rasa nyaman. Hubungan kami terasa seperti cerita dalam film romantis; tanpa masalah, tanpa keraguan.