Lihat ke Halaman Asli

Rafa Zahira

Mahasiswa

Masa Industri 4.0 yang Membuat Mahasiswa Melupakan Kultur Islam

Diperbarui: 10 Oktober 2024   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Revolusi Industri 4.0 adalah era baru yang diwarnai dengan kemajuan pesat teknologi dan otomatisasi di berbagai aspek kehidupan, mulai dari bisnis sampai interaksi sosial. Dikenal juga dengan AI, Internet of Things dan big data telah mengubah pola hidup, cara kerja, dan berinteraksi manusia. Sebagai generasi penerus bangsa, pelajar memiliki risiko untuk direalisasikan sebagai entitas yang berdamai dengan metamorfosis ini. Sepanjang apa yang dilakukan, terkait, demikian, pertanyaannya adalah apakah pelajar dapat melakukan pekerjaan budaya pertama. Inovasi yang luar biasa ini menyebabkan pelbagai masalah bagi mahasiswa, tergantung dari cara mereka memelihara ekspresi Islami identitas mereka di era revolusi.

1. Ketergantungan pada Teknologi dan Lupa Akan Nilai-Nilai Spiritual

Secara umum, salah satu dampak terbesar era Industri 4.0 pada manusia adalah membuat mahasiswa semakin ketergantungan dengan teknologi. Dalam keseharian, banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar komputer atau hape untuk belajar, bekerja, maupun bersosialisasi. Karena semuanya menjadi instan, manusia akan lebih memilih solusi praktis ketimbang merenung secara mendalam atas masalah atau tindakannya. Perhatian manusia terhadap aspek spiritualitas dan budaya Islam seperti shalat, mengaji, renungan, dan sering kegiatan menjadi lebih ditinggalkan dan diganti dengan kegiatan yang materialistis.

2. Gaya Hidup Konsumtif dan Individualistis

Industri 4.0 juga telah memperkenalkan pola hidup yang cenderung konsumtif dan individualistis. Berbagai platform digital seperti e-commerce dan media sosial mendorong mahasiswa untuk lebih fokus pada kepemilikan material dan pengakuan sosial. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam karena Muslim diajarkan untuk hidup sederhana, saling tolong-memalukan, dan memperkuat ukhuwah. Mahasiswa yang terlalu terlibat dalam mencapai prestasi akademis, karier, atau popularitas di media sosial dapat dengan mudah lupa jika dia seorang Muslim dan memiliki tanggung jawab sosial dan spiritual.

3. Minimnya Interaksi Sosial yang Bermakna

Meskipun teknologi memungkinkan manusia untuk tetap terhubung satu sama lain melalui berbagai platform digital, namun interaksi yang terjadi seringkali bersifat dangkal dan kurang bermakna. Interaksi sosial yang dilakukan secara virtual cenderung mengurangi kesempatan untuk berkomunikasi secara tatap muka yang lebih mendalam. Dalam kultur Islam, hubungan antarmanusia sangat penting, terutama dalam memperkuat ikatan ukhuwah, berdiskusi tentang ajaran agama, serta saling mengingatkan dalam kebaikan. Mahasiswa yang terjebak dalam interaksi online mungkin tidak mendapatkan kesempatan untuk menjalankan praktik-praktik Islam seperti silaturahmi atau berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan bersama.

4. Tantangan dalam Mengintegrasikan Nilai Islam dengan Kemajuan Teknologi

Banyak mahasiswa merasa kesulitan untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan tuntutan kemajuan teknologi. Di satu sisi, mereka diharuskan untuk menguasai teknologi agar tetap relevan di era modern. Namun, di sisi lain, mereka sering kali bingung bagaimana cara menjalankan ajaran Islam dengan tetap memanfaatkan teknologi secara bijak. Sebagai contoh, dalam hal etika penggunaan teknologi, banyak mahasiswa yang tidak menyadari pentingnya menjaga adab Islam dalam berkomunikasi di dunia digital, atau bagaimana teknologi bisa digunakan sebagai alat untuk menyebarkan kebaikan, bukan hanya sebagai sarana hiburan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline