Lihat ke Halaman Asli

Rafa Putri

mahasiswa

Namaku Asya

Diperbarui: 1 Juli 2024   19:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Disuatu tempat dikota Surabaya, izinkan aku menceritakan kisahku. Namaku Asya Fatiha Putri, aku anak kedua dari tiga bersaudara. Teman-teman memanggilku Asya. Aku duduk dikelas 4 SD, aku adalah anak yang rajin dan suka dengan matematika. Keseharianku dipenuhi dengan canda tawa yang tidak ada habisnya karena memiliki teman yang amat sangat baik padaku. Guru-guru mengenalku dengan sangat baik, dan kesempatan itu tidak akan aku sia-siakan. Proses Belajarku semakin meningkat, aku mengikuti les matematika sepulang sekolah dan mendapat jadwal seminggu tiga kali. Ibu dan ayah selalu memberikan dukungannya kepadaku. Segala hal yang aku raih selalu diapresiasi walaupun tidak dengan memberikan barang-barang mewah, hanya ucapan dan pelukan yang mereka berikan.

Suatu ketika aku sangat ingin berjualan agar bisa meringankan beban ibu dan ayahku. Setidaknya untuk jajanku setiap harinya saja. "Ibu ada coklat untuk kalian" ujar ibuku sambil memberikannya kepadaku dan kakakku. "Beli dimana coklatnya bu?" tanyaku kepada ibu karena rasa ingin tau dan berfikir bisa menjual coklat itu kepada teman-temanku. "Punya bu sari de" setelah menjawab pertanyaanku, ibu pergi meninggalkanku dan kakak diruang tengah. Tiba-tiba terbesit dipikiranku  bahwasannya hal ini mungkin hal yang harus aku coba. Kalau tidak aku coba bagaimana aku bisa tau? Itu pikirku.

Akhirnya aku menemui bu Sari dan menyampaikan bahwasannya aku ingin menjualkan coklat-coklatnya disekolahku. Dan bu Sari menyetujuinya, rasanya senang sekali diberikan kesempatan untuk mencoba hal yang sangat aku inginkan. Seiring berjalannya waktu teman-teman mengenalku karena aku berjualan coklat, tapi sangat disayangkan aku merasa sedih ketika ada anak lain yang memanggilku "Hei tukang coklat!". Aku tau ini hal yang tidak harus aku masukkan kedalam hati, tapi dengan usiaku yang masih tergolong anak kecil, wajar jika aku merasa sedih. Tapi ibuku bangga padaku karena semenjak aku menjual coklat, aku punya uang jajan sendiri setiap harinya. Itu pengalaman yang paling berharga untukku.

 Menginjak kelas 5-6 aku aktif dalam bidang akademik dan non-akademik. Aku diikut sertakan dalam acara 02SN menjadi atlet lari mewakili sekolahku, aku terpilih dari 3 orang disekolahku untuk olimpiade matematika, aku juga menjadi pasukan khusus pramuka disekolahku, dan aku diikut sertakan lomba senam mewakili sekolahku Bersama teman-temanku. Rasanya sangat senang karena dititik akhirku meninggalkan sekolah, aku punya kenangan yang indah untuk diriku, temanku, guruku, dan orangtuaku.

Sampai pada titik ahkirku disekolah ini yaitu wisuda. Rasa tegang, senang, sedih jadi campur, dan hal yang paling aku takutkan adalah tidak terpanggilnya namaku saat pengumaman nilai terbaik. Keringat dingin dan dada yang menggebu aku rasakan saat pembacaan 6 nilai terbaik disetiap kelasnya. Ibuku mendampingiku sambil meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja dengan terpanggil atau tidak terpanggilnya diriku keatas panggung. Urutan 6,5, dan 4 sudah terpanggil dan tidak ada namaku didalamnya. Rasa takut semakin menyelimuti, takut akan tidak bisa membahagiakan orangtuaku. Aku berharap namaku ada diurutan ketiga karena aku tidak yakin kalau namaku ada diurutan pertama atau kedua. Namun nama ketiga yang disebutkan bukan namaku, disitu air mataku sudah membendung dan jatuh satu-persatu.

Mengingat prestasi yang sudah kudapatkan dari kelas 1 rasanya sedih jika aku tidak mendapatkan posisi 6 besar tersebut, karena aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan posisiku diperingkat 10 besar, 5 besar, bahkan 3 besar.  Tapi tuhan baik, namaku disebut diurutan kedua "Asya Fatiha Putri, putri dari bapa ahmad" ujar MC dipanggung. Tangisku pecah, aku menangis memeluk ibuku dan segera berlari menaiki panggung. Cemas yang aku rasakan berganti menjadi haru yang sangat mendalam. Ayahku disebut, aku anak ayah dipanggil keatas panggung sebagai lulusan dengan nilai terbaik kedua. Walaupun ayahku tidak ikut pada hari itu, tapi ibuku melihat keberhasilanku dan ibuku sangat bangga padaku. Aku sangat-sangat bersyukur dengan semua hal yang aku dapatkan disekolah ini.

Beberapa bulan setelah kelulusan, adalah masa dimana diriku menentukan kemana kaki ini akan berpijak selanjutnya. Rencana-rencana sudah kubangun dengan kehendakku, tapi Tuhan berkata lain. Suatu hari disore yang amat sangat damai, ibu dan ayahku pergi ke masjid untuk menghadiri kajian. Selepas itu ibu dan ayahku pulang kerumah dan menghampiri kami yang sedang menonton TV didepan . " De, kamu lanjutkan SMP mu dipesantren ya" ujar ibuku kepada kami sambil bermain mata dengan ayahku. Tidak mungkin adikku yang paling kecil disuruh kepondok, maka dari itu 'De' yang mereka maksud pasti diriku.

Bingung? ya aku sangat bingung, mendadak sekali orangtuaku mengatakan hal itu kepadaku. Mereka mengatakannya setelah aku Menyusun rencanaku. Sangat sedih rasanya karena aku sudah berniat untuk meningkatkan kualitas matematikaku. "Kenapa bu, yah? aku udah punya rencana mau kemana aku akan melanjutkan sekolahku, kenapa tiba-tiba bilang begitu?" Ucapku yang merasa sedih akan tetapi ingin tau alasan apa yang membuat orangtuaku berkata demikian. "Tadi ibu dan ayah pergi kemasjid buat kajian, lalu pengisi acaranya anak perempuan berumur 13 tahun yang sudah hafidz qur'an. Ibu dan ayah langsung inget kamu, ibu dan ayah mau kamu masuk pesantren. Gaharus hafal 30 juz tapi ibu mau kamu paham agama karna ibu mau kalo ibu sama ayah udah gaada, anak-anak ibu bisa doain ibu sama ayah. Dan ibu mau kamu bisa jadi guru terbaik buat anak kamu nanti" ibuku mengucapkannya dengan muka penuh harap begitupun ayahku.

"Aku gatau bu, bingung" jawabku kepada mereka. "Mau ya de, ibu beliin apa yang kamu mau tapi kamu masuk pesantren ya" jawab ibuku saat itu. Aku sedikit goyah karena pada saat itu aku sangat menginginkan handphone, dan disisi lain aku sangat ingin mengikuti keinginan orangtuaku. "Iya bu, yah aku mau masuk pesantren" mendengar jawabanku, ibu dan ayahku langsung memeluk diriku dengan haru, dan ibuku menangis karena bahagia. Namun, takdir berkata lain.

Gaji ayahku tidak keluar sudah beberapa bulan sedangkan pada saat itu aku harus masuk pondok, adikku harus daftar ulang kenaikan kelasnya, begitupun kakakku. 23 tahun ayahku bekerja diperusahaan itu akan tetapi tidak ada kenaikan gaji sama sekali. Aku sebagai anak sangat sedih mendengar hal itu, betapa dzholimnya Perusahaan tersebut kepada ayahku. Pada akhirnya ayahku memutuskan untuk resign, ayahku mendapat pesangon 150 juta. Lalu uang itu dipakai untuk membuat studio dubbing, membeli kulkas, dan biaya sekolah kami. Sehari setelah aku memutuskan untuk masuk pesantren, kakakku juga ingin masuk pesantren karena ingin menemaniku dan menjagaku disana. Maka dari itu biaya untuk memasukkan kami kesana beserta keperluan yang kami siapkan hampir menginjak 25 juta.

Rencana ayahku membuat studio karena akan dijadikan ladang rezekinya melalui job dubbing, karena ayahku mahir didunia dubbing. Ayaku sudah belajar dubbing jauh sebelum ayahku bekerja menjadi karyawan diperusahaan tersebut. Dan kulkas yang dibeli ayahku bertujuan untuk mengganti kulkasku yang sudah tidak layak pakai dan untuk dijadikan sarana berjualan es oleh ibuku. Akhirnya tiba dimana kami pergi ke mall untuk membeli hp untukku dan kakakku, kami Sangat senang mendapatkan apa yang kami inginkan sejak lama. pembelian barang-barang untuk keperluan aku dan kakak disana sudah selesai dan tibalah hari dimana kami diantarkan kepesantren. Rasanya sedih sekali jauh dari orangtua.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline