Beberapa waktu lalu, aku mendapat "aha moment" ketika membaca salah satu kalimat dalam buku biografi dari Muhammad Ali yang berjudul Tribute to the greatest karya Thomas Hausser. Kalimat itu berbunyi "Hari ini Ali menikmati status yang dianugerahkan kepada beberapa orang seumur hidupnya: pengetahuan bahwa dia abadi".
Aku cukup suka membaca buku buku biografi para tokoh revolusioner, baik di bidang politik, bisnis, sosial, dan lain lain. Seperti Muhammad Hatta, Muhammad Ali, Badshah Khan, Nelson Mandela, dan lain lain. Setelah aku membaca kisah-kisah mereka, aku menemui satu benang merah atau kesamaan diantara mereka. Yaitu, walaupun telah tiada, mereka tetap "abadi".
"Abadi" yang kumaksud tentu saja bukan dalam konteks biologis atau fisik. Melainkan dalam konteks pemikiran, pandangan, idealisme, prinsip dan sikap dalam hidup.
Hal itu diabadikan dalam bentuk buku, film dokumenter, maupun mulut ke mulut. Menurutku, "keabadiaan" ini adalah status tertinggi yang dapat dicapai manusia dan hanya dianugerahkan kepada orang orang tertentu.
Contohnya, Nabi Muhammad Saw yang hidup ribuan tahun lalu, tetapi "eksistensi" pemikiran dan sikapnya, atau dalam Islam disebut dengan Akhlaknya masih tetap hidup hingga saat ini. Untuk mencapai status ini, diperlukan pengorbanan dan perjuangan yang sangat besar dan berat. Tokoh yang mencapai status ini biasanya selalu berusaha mempertahankan prinsip, nilai atau value hidup, idealismenya dan berani mengambil resikonya.
Tokoh seperti ini masih langka di era saat ini. Jika kata para ekonom, semakin langka, semakin bernilai pula pengorbanan atau harga yang harus dibayar untuk mendapatkannya. Contohnya Bung Hatta yang diasingkan berkali kali selama hidupnya demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Dan juga, Badshah Khan yang menghabiskan sebagian hidupnya didalam penjara demi mengajak masyarakat India untuk melakukan revolusi anti kekerasan dalam melawan penjajah di negerinya. Kehidupan yang "abadi" ini menurutku, berkorelasi dengan kehidupan yang bermakna. Mereka yang telah mencapai status ini, biasanya merupakan pribadi yang berusaha untuk berkontribusi bagi masyarakat.
Sebagai generasi muda, marilah kita terus menghidupkan sikap dan pemikiran positif dari para tokoh terdahulu. Mereka telah mengorbankan darah, keringat, waktu, dan nyawanya demi kenyamanan dan keamanan kita saat ini. Inilah salah satu langkah kita untuk menghargai jasa jasa mereka.
Kita juga harus senantiasa berusaha untuk membuat kehidupan yang bermakna bagi lingkungan sekitar. Mulai dari circle terkecil yaitu keluarga, teman tongkrongan, dan lain sebagainya.
Kita dapat bertanya pada diri sendiri, "apakah keberadaanku telah bermanfaat bagi orang orang disekitarku?". Seperti prinsip yang dimiliki oleh Iman Usman, co founder dari Ruang Guru, dalam bukunya yang berjudul Masih Belajar. "Ketika aku telah tiada, aku ingin dunia menjadi lebih baik daripada ketika aku lahir".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H