Lihat ke Halaman Asli

Ospek, Apakah Masih Perlu Diadakan?

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Layaknya ritual, setiap tahun ajaran baru kegiatan belajar mengajar diawali dengan masa pengenalan lingkungan baik bagi siswa SMP, SMA, maupun para mahasiswa yang telah menjadi keluarga baru dalam institusi tersebut. Di sekolah-sekolah, kegiatan ini biasanya hanya berlangsung selama seminggu. Berbeda dengan di universitas, rangkaian kegiatan ospek dapat berlangsung hingga 1 semester, bahkan 1 tahun! Pada masa ini, para senior lah yang biasanya berkuasa.

Selama ini, ospek identik dengan ajang balas dendam senior, pelonco, dan hal-hal lain yang mengandung unsur kekerasan. Apalagi jika institut tersebut mayoritas isinya adalah siswa pria, seperti halnya STM dan jurusan teknik. Image buruk yang melekat ini diperkuat oleh kejadian yang melanda praja-praja STPDN beberapa tahun silam.

Setelah tragedi praja tersebut, tidak sedikit univeritas lain yang mengubah bahkan meniadakan program ospek sebagai rangkaian acara penerimaan mahasiswa baru. Ada pula yang tetap mengadakan tradisi namun dengan larangan yang seabreg: tidak boleh ada hukukman fisik, tidak boleh ada marah-marah. Alhasil, kegiatan ospek sekarang ini banyaknya hanya berupa seminar dan workshop yang menurut saya cukup membosankan dan tidak berbekas.

Hasil penelitian yang saya lakukan dengan membandingkan dua jurusan yang menggunakan sistem workshop dalam kegiatan PMB ( jurusan A ) dan jurusan lain yang menggunakan sistem semi militer dan senioritas ( jurusan B ) menunjukan bahwa hubungan kekerabatan antar mahasiswa di jurusan B lebih erat dikarenakan sistem ospek yang mengharuskan mereka mengenal satu sama lain, baik dengan teman, senior, dan juga para dosen. Namun efek buruknya, tidak sedikit mahasiswa yang merasa kesal sehingga memiliki motif lain untuk menjadi panitia ospek berikutnya; yaitu untuk balas dendam. Ada pula kasus mahasiswi yang bermental lemah, alih-alih menjalani ospek tersebut, ia justru meminta orangtuanya untuk memindahkan dia ke jurusan lain.

Kasus-kasus seperti itulah yang mencoreng esensi dari kegiatan ospek yang seharusnya bermakna positif. Orangtua pun seringkali khawatir dan meminta pihak universitas agar rangkaian acara tidak melibatkan hukuman fisik bahkan terkadang mereka meminta agar ospek sebaiknya ditiadakan karena hanya membuang waktu dan uang.

Dengan berbagai anggapan tersebut, apakah kegiatan ospek masih perlu dilakukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline