Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, selain tentunya sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan identitas budaya suatu bangsa yang menandakan kekayaan bangsa tersebut. Maka sangat beruntung negara kita memiliki beraneka ragam bahasa daerah. Namun tidak semua bahasa yang ada di Indonesia digunakan oleh seluruh warga negaranya. Penggunaan bahasa disesuaikan dengan daerah, umur, tingkat pendidikan dan lainnya. Penggunaan bahasa oleh mahasiswa tentu berbeda dengan anak kecil, masyarakat yang tak berpendidikan, elit politik, atau dengan para pengusaha. Disitulah kita bisa lihat bahwa bahasa dapat menunjukkan strata sosial penggunanya.
Disamping fungsi tersebut diatas, bahasa juga memiliki peranan dalam bidang politik. Mari kita kembali mengingat pembelajaran sejarah pada masa kolonialisme. Mengapa pada saat penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia harus mempelajari bahasa mereka? Dan mengapa ketika kekuasaan pindah ke tangan pemerintah Jepang, masyarakat Indonesia dilarang menggunakan bahasa Belanda dan harus mempelajari bahasa Jepang? Bahkan disetiap sekolah, bahasa Jepang merupakan pelajaran yang wajib diajarkan. Tentunya ada alasan lain selain untuk dapat berkomunikasi dengan pribumi. Alasan yang paling kuat adalah budaya dan politik. Negara penjajah ingin mematikan kebudayaan Indonesia melalui bahasa dan menjadikannya negara persemakmuran mereka.
Atau ketika pencetusan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Republik Indonesia. Mengapa pada saat itu Bung Karno memutuskan untuk menjadikan bahasa Indonesia, yang notabenenya mirip dengan bahasa melayu Malaysia sebagai bahasa resmi? Jika kita cermat lebih lanjut, mayoritas penduduk Indonesia tersebar di Pulau Jawa. Bukankah akan lebih mudah jika bahasa nasional diambil dari bahasa daerah di Pulau Jawa? Pertimbangannya adalah, suku bangsa terbanyak di Indonesia adalah Sunda dan Jawa. Akan sulit memilih salah satu dari kedua bahasa tersebut untuk dijadikan bahasa nasional, karena tentu saja ego golongan, dalam artian sukuisme, akan mempengaruhi. Untuk itulah presiden pertama kita dengan netral memilih bahasa Indonesia dari rumpun melayu sebagai jembatannya.
Contoh lain adalah dalam kasus Turki dan Uni Eropa. Sudah sejak lama Turki ingin menjadi bagian dari Uni Eropa, namun perserikatan besar tersebut selalu menolaknya. Jika kita pikirkan lebih lanjut, Turki negara yang cukup kaya dan makmur, Uni Eropa akan cukup beruntung jika Turki menjadi bagian dari mereka. Dari segi geografis pun, Turki layak tergabung dalam perserikatan tersebut, karena tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar wilayah Turki terletak di benua Eropa. Namun ternyata semua itu kembali lagi pada masalah bahasa. Salah satu dasar kuat pertimbangan Uni Eropa menolak Turki adalah karena bahasa mereka berasal dari akar yang berbeda. Turki yang berada di perbatasan Eropa dan Asia (Timur Tengah) menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa standar yang digunakan sehari-hari. Sedangkan negara-negara di Eropa memiliki satu rumpun bahasa, akar bahasa yang sama, yaitu bahasa latin. Bagi mereka, negara yang menggunakan bahasa Arab identik dengan negara Islam, dan Uni Eropa yang mayoritas anggotanya adalah negara sekuler, menolak dengan keras keterlibatan negara Islam dalam perserikatan mereka.
Itulah sebabnya pada tahun 1923, Presiden Turki, Mustafa Kemal, membuat suatu revolusi linguistique. Yaitu dengan melakukan moderenisasi bahasa Turki dan menghapus pengaruh muslim dari negara tersebut baik dengan cara menghapus alfabet Arab dan menggantinya dengan alfabet latin, menghapus pengajaran bahasa Arab di sekolah-sekolah, juga dengan mengganti kata-kata serapan bahasa Arab dengan bahasa Turki atau bahasa latin.
Dari contoh-contoh diatas dapat diketahui bukan bahwa pegaruh bahasa sangatlah besar. Kita tidak dapat memandang remeh pembelajaran bahasa, karena bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi, efek bahasa itu sendiri amat besat dalam kehidupan sosial dan politik, bukan hanya di dalam negeri, tapi juga mempengaruhi politik internasional. Pemerintah Indonesia pun sejak tahun 2009 sudah membuat Undang Undang Kebahasaan yang mengatur penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pembacaan pidato presiden, penamaan jalan, dan lain sebagainya. Sejumlah beasiswa dalam negeri pun, seperti Dikti, kini mewajibkan para kandidat penerima beasiswa agar memiliki sertifikat UKBI, semacam TOEFL atau IELTS. Memang belum banyak yang tahu soal UU dan UKBI ini. Namun pemerintah sudah cukup bijak dengan membuat peraturan seperti itu, karena dengan begitu, sedikit demi sedikit kita dapat mengenalkan bahasa kita ke mancanegara, dan bukan tidak mungkin untuk menjadikannya bahasa internasional seperti Bahasa Inggris dan Perancis, mengingat jumlah penutur Bahasa Indonesia yang cukup banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H