Lihat ke Halaman Asli

Radya Ramadhany

Mahasiswi S1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Fast Fashion: Si Murah Beragam Masalah

Diperbarui: 9 Juni 2022   11:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Fashion bukanlah hal yang asing di keseharian kita, setiap hari kita pasti selalu memikirkan “Mau pakai baju apa ya hari ini?”. Tagar-tagar tentang style berpakaian juga selalu ramai postingan di semua media sosial, #OOTD misalnya yang memuat style berpakaian keluar rumah selalu memuat ribuan postingan baik di Instagram, Twitter, hingga para content creator yang juga ramai membuat konten gaya berpakaiannya di kanal YouTube. Yang sedang hits, di media sosial Tik-Tok banyak muncul para creator baru dengan konten menyebarkan tautan pembelian suatu produk yang dipakai oleh influencer maupun pemakaian pribadi.

Namun, tahukah kamu? Bahwa 84% pakaian berakhir di tempat pembuangan sampah atau sekitar 82,78 ton dalam setahun, dan setiap detiknya diperkirakan 2.625 kilogram pakaian dibakar. Pakaian yang terbuang ini berasal dari pakaian tak terpakai, tak terjual, dan tak lolos pengecekan. 

Industri fashion menjadi salah satu penyumbang limbah terbesar, limbah tekstil berada posisi empat besar, termasuk dalam penyumbang emisi karbon di landfill. Tren-tren berpakaian di  media sosial tadi, menjadikan permintaan akan fast fashion yang berkontribusi menyumbang limbah pakaian terus meningkat dari hari ke hari.

Fast fashion adalah istilah dalam industri tekstil yang memiliki beragam model fashion yang di produksi dalam waktu singkat atau merupakan strategi bisnis guna memenuhi permintaan konsumen akan beragam barang modis dalam jangka waktu yang cepat. 

Fast fashion biasanya di produksi menggunakan bahan baku berkualiatas rendah sehingga dibanderol dengan harga relatif murah. Brand fast fashion melakukan produksi mengikuti alur tren mode, sehingga koleksinya berganti dengan cepat. Hal tersebut menjadikan konsumen semakin konsumtif karena tidak ingin ketinggalan tren.

Harga murah produk fast fashion sejalan dengan risiko yang ditanggung para pekerja industri fast fashion. Demi menekan biaya produksi untuk harga jual yang murah industri fast fashion seringkali bersikap tidak adil kepada para pekerja, dengan memberikan upah yang tidak sesuai. Selain itu, keselamatan dan jam kerja para pekerja juga sering kali diabaikan.

Pada tahun 2013 silam terjadi kecelakaan terbesar dalam industri fashion, yaitu kasus runtuhnya Rana Plaza yang berada di pinggiran Ibukota Bangladesh, Dhaka. Rana plaza merupakan tempat produksi dari 29 merek fast fashion dunia. Peristiwa ini menewaskan hampir 1.134 pekerja, dan 2.500 orang mengalami luka-luka. Tempat  para pekerja untuk membuat fast fashion tersebut runtuh karena kondisi tempat yang sudah kurang layak. Terkuak juga fakta bahwa para pekerja diberikan upah sangat minim.

Selain permasalah terkait pekerja, industri fast fashion juga seringkali tidak memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Siklus produksi terbuka dianut oleh industri fast fashion, yang berarti semua limbah yang dihasilkan oleh industri fast fashion langsung dibuang ke tanah dan perairan tanpa melalui proses pengolahan limbah. Limbah industri fast fashion dapat berupa sisa bahan maupun pewarna tekstil yang digunakan dalam proses produksi.

Lebih lanjut pencemaran lingkungan dari industri fast fashion berasal dari bahan baku yang digunakan. Organisasi pemerintah berbasis lingkungan World Wide Fun (WWF) memberikan kritik terkait besarnya penggunaan air yang dilakukan dalam industri fast fashion. Dalam laporan resmi yang dirilis WWF pada laman resminya, diungkapkan diperlukan air virtual sebanyak 20.000 liter untuk memproduksi satu kilogram kapas. 

Satu kilogram kapas tersebut hanya bisa digunakan untuk membuat satu buah kaos dan dua buah celana jeans. Di sisi lain, 20.000 liter air ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan minum seseorang selama lima hingga enam tahun.

Mayoritas industri fast fashion menggunakan bahan alternatif instan sepeti polyester, nilon, dan akrilik. Bahan tersebut memerlukan waktu ribuan tahun untuk terurai karena merupakan bahan sejenis dengan plastik yang dibuat dari minyak bumi. Selain itu serat mikro yang berasal dari bahan baku sintetis berkontribusi sebesar 85% pencemar plastik dilaut. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam berita perubahan iklim, menyatakan bahwa industri fashion menyumbangkan 10% dari emisi gas rumah kaca global karena rantai pasokan yang panjang dan produksi yang intensif energi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline