07 Mei 2016 (12 hari yang lalu) saya menjadi member Kompasiana, keesokan harinya artikel Pak Tjiptadinata Effendi yang saya baca adalah "Kita memang beda, tapi haruskah tebar kebencian?" bagi saya, artikel ini seperti mengisahkan pengalaman pribadi saya, tak ayal sepanjang membaca artikel ini suara Pak Tjip seperti terdengar lembut dipendengaran, pendengaran jiwa tentunya. Kemudian saya lanjutkan membaca artikel Pak Tjip yang lainnya, tapi artikel "One This Day, 4 Years Ago...", artikel ini tidak saja merepresentasikan penuh nuansa emosi keharuan namun seperti memukul pundak dari lamunan masa kini untuk mengingat hubunganku dengan Guru-Guru ku. Tulisan yang juga kalah menggetarkan jiwa "Jangan ada dendam, tapi sejarah tidak boleh dilupakan", tulisannya dalam situasi hati getir tidak menaburkan dendam tapi memberi nuansa positive melalui harapan Indonesia tak lagi mengalami tragedi yang pahit itu dikemudian hari.
Memberanikan diri sebagai pengikut, dan membuka obrolan di Kompasiana, ternyata Pak Tjip yang saya sapa Guru itupun tak berat hati untuk menjadi Guru saya dalam menulis, dan lebih menyejukkan lagi, sebagai Guru Menulis pak Tjip selalu memberi saya semangat untuk terus menulis. Alasan yang paling mendasar bagi saya untuk berguru kepada Pak Tjip bukan mau seperti beliau namun meneladani peran beliau dalam membangun peradapan melalui karya-karyanya, ternyata Pak Tjip juga memiliki pendekatan yang relatif sama, pak Guru Tjip pernah memberi nasehat, jadilah dirimu sendiri namun menulislah untuk bermanfaat bagi pembaca. Memang itulah yang saya impikan kelak bisa menulis yang mana dipenggalan paragraf ada yang bermanfaat bagi pembaca jika secara keseluruhan tulisan-tulisan dipandang kurang menarik.
Berkaca dari karya-karya Pak Tjiptadinata Effendi, sejak bergabung 15 Oktober 2012 hingga 19 Mei 2016 Pukul 20:55, beliau menjadi member Kompasiana selama 1312 hari, telah menghasilkan 1948 buah pikiran yang digoreskan menjadi artikel di Kompasiana, dengan sendirinya hasrat beliau "One Day One Artikel" terlampaui. Itu masih dari sisi kuantitas karya, secara kwalitas pun sangat diluar jangkauan rata-rata, karena artikel 1948 telah dibaca 2.070.249 kali yang berarti setiap tulisan rata-rata dinikmati oleh hampir 1063 Pembaca, heran? bentar dulu. 390 Artikel dari 1948 menjadi Headline (20%) dan 1607 Artikel menjadi Pilihan (80%), sangat fantastik, itulah sebabnya menurut yang saya kenal Penulis Pak Tjip pastilah Pria sejati dan sejatinya memiliki kemampuan belajar dan berbagi diatas kemampuan Pria Sejati Umumnya.
Hasrat Pak TJip, S'lalu Baru Tiap Hari, itulah menurut saya analogi yang relevan sekaligus kekuatan Pak TJip dalam menyampaikan pesan-pesan santunya dalam setiap Artikel. Hasrat lah yang membedakan setiap insan mengerjakannya terkadang lebih lambat, cepat, mudah, sulit. Hasrat jugalah yang membaca insan menjadi mahkluk yang bergerak kesana-kemari, Hasratlah yang menjadi driver ketika bertindak, bercita-cita, bahkan dalam berdialog, termasuk dalam MENULIS. Dengan hasrat baru, karya menjadi seperti yang terus berhubung satu dengan lainnya, seolah-oleh hari ini kelanjutan hari kemarin dan akan diteruskan dihari kemudian, dengan Hasrat Baru karya-karya tidak mengenal berhenti melainkan menciptkan karya baru itu melekat karena hasrat selalu baru, itulah yang secara berkesudahan yang dimiliki pak Tjip.
Dipikiran saya, Hasrat S'lalu Baru itulah yang membawa Pak Tjip berjalan melampaui batas-batas manusiawi seperti tempat, ekonomi, masa lalu, dan tanpa disadari beliau sudah mendapat usia lebih juga dari umumnya usia Pria Sejati. Satu Falsafah yang mengemuka ditanah kelahiran saya, Medan - Sumatera Utara, Tak jauh tubis dari Pokoknya, dikwalitas hidup yang dimiliki oleh Pak Tjip dan diteladankannya melalui nilai-nilai yang tak bisa diukur dengan uang, Pak Tjip tentu telah mendapat pelajaran itu dari Ayahnya juga terlihat betapa beliau sangat santun ketika berjumpa dengan Gurunya di Don Bosco sebagaimana kisah yang ditorehkan pada salah satu artikel "One This Day 4 Years ago", Gelora hormat atas ajaran Gurunya itu termateraikan dengan kaku "Kalau Sukses jangan Sombong" padahal sudah berpisah 43 tahun lamanya, itu juga menandaskan betapa Pak Tjip sangat patuh terhadap Gurunya.
Lalu apa pelajaran dari karya-karya Pak Tjip? yang sudah saya petik baik dari tulisannya maupun dari nasehat obrolan di Kompasiana :
1. Jangan Berhenti Belajar!
2. Menulislah Bukan untuk pamer atau sekedar dibaca!
3. Tulislah sesuatu yang tak menghadirkan Pertikaian
4. Tulisan adalah cerminan kehidupan penulis dan terkadang menjadi anjuran bagi pembaca
Keempat hal diatas, adalah mewakili apa yang saya tangkap dari Pak TJip. Tentu saja bukan menjadi baro meter ataupun tolak ukur, karena dari 1948 tulisan beliau belum 20% yang saya sudah baca, paling tidak setiap kali saya membacanya melihat pesan yang disampaikan ada 4 hal diatas yang terkandung.