Lihat ke Halaman Asli

Pilwali Surabaya yang Membanggakan

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak terbentuk 717 tahun silam, mungkin baru kali ini Surabaya mengalami proses pergantian pemimpin yang begini rumit. Tapi bagi saya yang lahir dan tinggal di kota ini hingga kini, proses tersebut begitu membanggakan. Bukan hanya karena seluruh elemen terkait bisa menahan diri sehingga tidak terjadi aksi kekerasan sekecil apapun, tapi juga karena nilai-nilai yang berkaitan dengan pilwali ini.

Kerumitan mulai muncul ketika Bambang DH mempersiapkan diri. Walikota incumbent dari PDI-P ini punya peluang besar untuk terpilih kembali, terutama karena berbagai prestasinya selama menjabat. Pihak kompetitornya-terutama dari Golkar dan Partai Demokrat-bersiasat. Mereka menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan alasan beliau sudah menjabat selama dua periode.

Benarkah? Sebenarnya, yang mereka anggap sebagai masa jabatan pertama adalah ketika Bambang DH menggantikan walikota Soenarto yang meninggal di tengah masa jabatannya, kira-kira seperti Lyndon B. Johnson seusai tertembaknya Presiden John F. Kennedy. Beliau sebelumnya jadi wakil walikota sejak belum diterapkan pemilihan langsung.

Tapi, masa jabatan sebagai walikota pengganti itu terlalu singkat. Bambang DH lebih sibuk membereskan masalah yang ditinggalkan Soenarto, yang sempat menghilang sakit cukup lama. Baru pada pemilihan berikutnya, ketika beliau berpasangan dengan Wakil Walikota Arif Afandi usungan PKB, program-program sesungguhnya mulai dijalankan.

MK ternyata mengabulkan gugatan yang mengandaskan harapan Bambang DH jadi walikota lagi. Meski punya agenda kepemimpinan untuk periode berikutnya, beliau yang berlatar belakang guru sekolah ini tidak ngotot melanjutkan jabatannya. PDI-P pun mencari jagoan baru.

Sementara itu, dua pihak lain bergerak. Wakil Walikota Arif Afandi menyadari bahwa PKB yang dulu mengusungnya kini terlalu lemah, terutama sejak ditinggalkan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia kemudian menggantungkan diri kepada Partai Demokrat yang belakangan ini sering menang berkat aneka trik politik dan dana besar yang menandingi Golkar.

PKS juga berambisi menguasai kepemimpinan kota ini. Eks anggota DPRD Yulyani digadang-gadang, hingga dibuatkan sejumlah organisasi baru sebagai mesin politik. Di satu sisi, catatan politik perempuan ini konon bersih. Tapi di sisi lain, ia kurang toleran untuk standar Surabaya. Sikap kritisnya terhadap regulasi iklan di tempat umum disinyalir berkaitan dengan sikap anti-"aurat" (pakai tanda petik) yang sering terpampang di iklan.

Arif Afandi dan Partai Demokrat menyadari bahwa peluangnya kali ini cukup berat, karena prestasinya tidak terlalu menonjol. Sebuah terobosan berani dilakukan. Partai Demokrat dan Golkar yang sering bersaing kini bergandeng tangan, di mana Adies Kadir dari Golkar jadi calon wakil walikota.

Latar belakang Arif Afandi sebagai eks pemimpin redaksi koran Jawa Pos dijadikan andalan kedua partai ini. Tentu saja, digabungkan dengan penyatuan dana politik yang sangat besar, ditambah pengalaman politik Golkar selama puluhan tahun. Bagi banyak pihak, ini pasangan dream team yang hampir tidak mungkin kalah, meski kualitas kepemimpinannya kelak patut diragukan.

Tapi, angin tiba-tiba berubah. PDI-P mengajukan calon walikota bukan dari partai, melainkan dari kalangan birokrat. Jago baru ini adalah Tri Rismaharini yang akrab dipanggil Risma. Perempuan berjilbab yang tampak selalu lincah ini dikenal luas atas prestasinya membangun taman kota di berbagai tempat, penghijauan di jalanan utama kota, disusul proyek kolosal gorong-gorong anti-banjir.

Koran Jawa Pos yang berideologi kerja segera menunjukkan sikap sebagai bukan backing politik Arif Afandi. Dalam sejumlah jabatan birokratnya, Risma sering bekerja sama dengan Jawa Pos. Mulai dari program penghijauan hingga pengembangan daerah tertinggal di Surabaya Utara. Bagi Surabaya yang selama ini situasi sosial-politiknya cukup stabil, memang lebih baik walikota yang bersemangat kerja ketimbang yang cenderung berpolitik. Sekadar catatan tambahan, Risma merupakan satu-satunya kandidat yang tidak pernah mengkampanyekan diri sebelum secara resmi dicalonkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline