Di dalam Alam kepustakaan jawa, kualitas diri manusia sejati yang paling rendah disebut ingsun sejati, diri sejati. Manusia sejati ini tidak dipengaruhi orang lain. Dia telah menemukan dunianya sendiri dalam kehidupan ini. Dia tidak menjadi epigon, pengekor orang lain, apakah itu mengekor orang tua, teman, atau tokoh pujaannya....Be Ur Self kalau orang bule bilang.
Menurut Syekh Siti Jenar di dalam bukunya, menentukan diri-sendiri merupakan langkah awal untuk mengenali saudaranya yang bersifat spiritual, ruhani. Ada empat saudara. Di Jawa dikenal dengan nama sedulur papat, empat saudara. Yaitu: ketuban, ari-ari (plasenta), tali pusar, dan darah yang menyertai sang bayi lahir. Keempatnya menyertai pembentukan jabang bayi hingga lahirnya di bumi ini. Korpus, badan jasmani, keempat saudara itu telah mati. Tetapi, ruhnya tetap menyertai manusia yang hidup.
Di Jawa ada ungkapan “sedulur papat kalima pancer”, saudara empat dan yang kelima adalah pancernya, pusatnya. Yang menjadi pusatnya adalah diri sejati manusia itu sendiri. Sedangkan keempat saudaranya tetap menyertai hidupnya. Dalam Al-Quran pun disebutkan, “Pada setiap diri niscaya ada penjaganya” (Surat Al-Thariq:4). Konsep sedulur papat ini tidak ada di Timur Tengah, sehingga mereka menafsirkan bermacam-macam.
Bila keprihatinan manusia ini semakin meningkat, kesadarannya bermanusia semakin tinggi, dan pencarian dan perenungan terhadap makna hidup ini semakin dalam maka manusia sejati akan menemukan guru sejatinya. Yang diungkap ahli-ahli spritual di Barat, baru diri sejati. Belum sedulur papat, apalagi guru sejati.
Coba anda bayangkan jika konsep Syekh Siti Jenar ini diterapkan oleh masyarakat Indonesia, Insya Alloh Tanah Air kita, NKRI yang tercinta ini akan semakin makmur..Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H