Lihat ke Halaman Asli

Irwan121

Menulis Budaya, Politik dan Filsafat

Membangun (Kembali) Rumah Indonesia Merdeka

Diperbarui: 15 September 2019   18:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul tulisan kali ini menjadi unik karena kata 'kembali' sengaja saya beri tanda kurung. Mengapa? Karena membangun RUMAH INDONESIA MERDEKA bukanlah pekerjaan pertama kali dalam sejarah berdirinya republik, dalam cerita patriotik sebuah negara bangsa bernama Indonesia.

Saya mencoba untuk merekontruksi kembali jalan 'merdeka' yang digagas oleh para pendiri bangsa sejak 28 Oktober 1928, yang menasbihkan untuk pertama kalinya kita sebagai sebuah bangsa, jauh sebelum terbentuknya sebuah negara merdeka.

Oktober '28 adalah sebuah titik balik, sebuah deklarasi kebangsaan yang bukan hanya menjadi dasar bagi terlahirnya Indonesia Merdeka, tetapi juga mempertegas eksistensi Indonesia swebagai sebuah Negara Bangsa.

Itulah mengapa dalam Proklamasi 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta dalam teks yang dibacakan di Pegangsaan Timur, mengakhirinya dengan kalimat "atas nama Bangsa indonesia". Maka sah bahwa Indonesia adalah sebuah Negara Bangsa, telah berbangsa sebelum bernegara.

Kermerdekaan Agustus '45 bukanlah tanpa koreksi. Dinamisasi politik antar elit politik pasca Indonesia Merdeka amatlah panas. Soekarno-Hatta tidaklah serta merta dipuja puji, tetapi juga dihujani koreksi. Salahsatu yang paling keras adalah datang dari seorang 'bapak bangsa' lainnya yang tidak terlalu dikenal bernama Ibrahim Datuk, atau biasa disebut Tan Malaka.

Peristiwa Januari 1946 ketika Tan Malaka mendatangi rumah Soekarno untuk menyampaikan kritik dan koreksinya pada disain Indonesia Merdeka yang digagas dalam Proklamasi Agustus 1945, adalah 'tamparan keras' dalam masa awal kemerdekaan. Koreksi dan kritik yang kemudian kita kenal sebagai "Merdeka seratus persen".

Tan memberi kita cakrawala berpikir yang absolut tentang bagaimana Indonesia Merdeka diselenggarakan sebagai sebuah negara berdaulat yang bercita-cita menghadirkan masyarakat bangsa yang adil dan makmur. Elaborasinya terhadap konsepsi merdeka kemudian belakangan, bahkan setelah 74 tahun Indonesia Merdeka menjadi tetap relevan. Kita kemudian harus berpikir pada akhirnya, apakah diperlukan upaya dan perjuangan untuk membangun (kembali) bangunan nan agung bernama Rumah Indonesia Merdeka?

Proklamasi Agustus 1945 adalah ikhtiar membangun, untuk pertama kalinya, Rumah Indonesia Merdeka tersebut. Bangunan awal yang dikoreksi oleh Tan Malaka sebagai bangunan yang harus segera dirapihkan agar janganlah kemerdekaan itu kemudian hanya menjadi milik para elit. Soekarno, Hatta, Syahrir atau bahkan Agus Salim boleh saja tersinggung oleh koreksi Tan Malaka tersebut.

Tetapi fakta empiris kemudian menjawab dengan terang benderang, bahwa memanglah dalam perjalanannya, kemerdekaan Indonesia masihlah milik para elit. Rakyat hanyalah remah-remah, butiran pasir yang dikumpulkan ketika diperlukan tapi lalu dibiarkan tertiup angin ketika tidak dibutuhkan.

Koreksi perlu diadakannya sebuah praktik 'Merdeka seratus persen' adalah sebuah koreksi komprehensif yang pada akhirnya harus kita akui menjadi ancaman sejarah bagi Bangsa Indonesia dikarenakan telah runtuhnya mentalitas orang merdeka dalam diri masing-masing, mengentalnya moralitas sebagai orang tertindas. Yang kemudian mencari pintu keluar dari ketertindasannya dengan memotong kompas, short-cut, mencoba peruntungannya agar dapat berubah menjadi elit.

Persepsi keliru yang kemudian menjadi watak kebanyakan masyarakat bangsa ini, meraih kemerdekaannya dengan menjadi elit. Suatu sikap yang kemudian merubah perilakunya dari orang yang tertindas menjadi penindas, dari yang terjajah menjadi penjajah, dari marginal menjadi penguasa. Merdeka seratus persen yang digagas Tan adalah 'alert', sebuah peringatan dini, bahwa kondisi tersebut akan terjadi. Tan bukan tanpa dasar menyampaikannya, mengingat ratusan tahun masyarakat bangsa ini telah 'dipaksa' untuk mengabdikan dirinya kepada kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, kerajaan-kerajaan Islam dan kolonialisasi bangsa Eropa. Mereka dipaksa menerima ketertindasannya sebagai sebuah kewajaran, tanpa syarat. Solusi yang mereka kenal agar terbebas dari praktik penindasan adalah dengan mengabdikan diri pada kekuasaan, lalu menjadi elit. Bukankah praktik tersebut hingga kini masih berjalan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline