Kesenian Cokek merupakan turunan dari kesenian karawitan. Pembeda dari kesenian karawitan adalah dalam cokek terdapat pengurangan pemain di dalamnya khusus nya dalam pemain Bonang dan Saron sehingga dalam sekali bermain terdapat sekitar sepuluh hingga limabelas pengrawit saja.
Ide Cokek Desa Pucung, Kismantoro, Wonogiri dicetuskan oleh bapak Tumani Anom Darmono dalam rangka menanggapi musik-musik electone yang hampir membuat seni karawitan hampir punah di Desa Pucung. Efisiensi dari seni Cokek Desa Pucung inilah yang kemudian membuat minat masyarakat terhadap seni tradisional mulai muncul kembali.
Cokek sebenarnya tidak hanya ada di desa Pucung saja tetapi juga dapat ditemui di Ngawi, Sragen, Ponorogo. Namun, pembeda utamanya adalah untuk desa Pucung sendiri tidak menggunakan musik moderen seperti Electone.
Saat ini kesenian Cokek Desa Pucung banyak dipesan warga masyarakat sebagai seni pertunjukan di tiap acara yang ada di sekitar wilayah Desa Pucung. Selain itu, terdapat program di Desa Pucung yau program Desa Wisata yang juga berusaha untuk melakukan konservasi melaui kegiatan seni pertunjukan dan pembelajaran kepada wisatawan. Hal ini sangat sesuai dan berpotensi karena kesenian Cokek Desa Pucung telah memiliki ciri-ciri yang dibutuhkan untuk suatu pertunjukan wisata Adapun ciri seni pertunjukan wisata diantaranya adalah tiruan dari tradisi yang telah ada, singkat dan padat penyajiannya, penuh variasi yang menarik, mudah diakses dan mudah dipahami wisatawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H