[caption id="attachment_160613" align="aligncenter" width="400" caption="Dream Theater - 1992"][/caption]
Saya masih ingat ketika awal masuk SMA, masih kelas satu, lagi culun-culunnya, betapa kagetnya (dan alangkah pusingnya - dalam arti yang sebenarnya), ketika mendengar tipe musik Dream Theater ini, karena sejak SMP saya 'bergaul' erat dengan musik-musik semacam Trio Libels, Backstreet Boys, A1, Take That, dan model musik pop lainnya. Saya penasaran dengan teman-teman ketika ekstrakurikuler musik di SMA Negeri 5 Semarang yang memainkan lagu rock keras dan nggak karuan lagunya. Saya tanya, "lagu apa sih?", dan kemudian dipinjami (baca: dipaksa untuk meminjam) oleh teman yang namanya Norman (seorang Drummer hebat di SMA saya) kaset bajakan dari band ini, ketika itu di album Images and Words. Musiknya (kata Norman), hebat, speednya cuueepet, nggak semua musisi bisa maenin ini lagu.
Impresi pertama dari album ini, puyeeeeng beraaaat! Sampe harus minum obat sakit kepala gara-gara efek musik rock ini. Mungkin karena belum terbiasa mendengar musik rock berat (baca: sama sekali belum pernah dengar). Dan ketika itu, lagu yang ternyata ditampilkan teman-teman ketika ekstrakurikuler adalah Metropolis, uniknya lagu ini berdurasi 9 menit. Sebuah durasi yang 'tak biasa' untuk ukuran lagu. Apalagi ada lagu lain lagi dengan durasi 11 menit.
Semakin hari semakin sering untuk mencoba (memaksakan) telinga ini untuk membiasakan diri dengan musik ini, dengan niat positif, khazanah musik dalam otak saya bisa bertambah dengan mendengar musik rock yang unik ini. Mendengar musik rock underground, rock punk, rock metal / speed metal, yang sering digandrungi anak muda SMA di Semarang kala itu, merasa cukup dan masih bisa memilih genre musik lain yang masih 'masuk' di telinga saya. Tetapi ini?
Saya amati satu faktor, ketukan nggak pas, tapi lucunya sinkron. Karena saya background musik lumayan kuat, di SD diajari tentang teknik vokal dan ketukan, di bawah 'ancaman senjata' yang namanya penggaris papan tulis 1 meter. Bayangan saya hanya ada dua kemungkinan, entah musisinya yang 'gendeng' ngubah-ubah ketukan sak penak udel'e sak kenane, atau saking hebatnya musisi-musisi ini bisa menghafal ketukan-ketukan yang 'nggak biasa' itu dan uniknya durasi lagunya nggak umum. Hanya dua cara yang bisa membuktikan, pertama tanya kembali ke Norman, apakah memang benar ketukannya begini, kedua dengan meminta lagi kaset-kaset konsernya. Singkat kata, saya dapat kaset konsernya (entah dari Norman atau teman saya yang lain), dan memang benar, ketukan 'nyeleneh' itu sama persis dengan yang di kaset. Hebat benar band ini!
Makin hari, makin terbiasa mendengar album Images and Words ini, makin mengamati faktor liriknya. Dream Theater ini gemar 'bercerita' di dalam setiap lagunya, mengungkapkan banyak kata kiasan yang saya sendiri nggak mudeng, 'ini kalimat opooo maneh?'. Makin mendalami teksnya, makin terasa kuat kharisma 'bercerita' di dalam lagunya. Terkadang dalam setiap lagunya, miriiiiip banget ketika orang menuangkan cerita di dalam sebuah novel. Perhatikanlah, ada rumus wajib dalam bercerita di dalam novel atau model cerita-cerita lain, selalu diawali dengan cerita intro dengan alur datar, perlahan demi perlahan alur mulai menaik, hingga mendekati akhir alur tersebut mencapai klimaksnya, dan pada akhirnya adalah antiklimaks dan akhirnya kembali ke alur semula. Begitu juga dengan Dream Theater dalam menuangkan setiap lagu-lagunya. Hebuuuatt benarrr band ini!
Makin hari, makin sering mendengarkan, bahkan ada 'stok' pinjaman kaset-kaset lain dari teman, Falling into Infinity yang menjadi album kesekian Dream Theater, namun dengan formasi berbeda. Makin hari juga makin kenal dengan nama-nama anggota band ini. Keyboardis yang tadinya dipegang si Kevin Moore, sekarang si Derek Sherinian. Album ini juga nggak kalah impresifnya. Masih juga dengan durasinya yang nggak umum, lirik lagu yang banyak dihuni 'kiasan-kiasan' puitis, ketukan-ketukan yang nyeleneh, dan semakin tau bahwa mereka beraliran Progressive Rock.
Makin mengamati satu faktor lagi, nada-nada yang mereka ambil menjadi suatu riff dan kemudian diaplikasikan ke dalam , benar-benar jenius. Untuk yang satu ini, saya nggak bisa menggambarkan dengan kata-kata, apa yang disebut dengan musik jenius itu. Yang jelas, sampeyan akan bisa mengerti kalau mengamati (saya bilang mengamati, bukan hanya mendengarkan) nada-nada musik klasik macam Beethoven, Bach, dan kawan-kawannya. Dan lucunya, jika musik rock keras, kenceng, speed, umumnya vokalisnya akan bertipe mirip 'underground rock' vocal. Sampeyan bisa bayangkan seperti apa suara vokal underground rock itu. Personally, saya nggak begitu suka 'underground rock', hanya karena 1 faktor, vokalisnya teriak-teriak nggak karuan, sampai lirik lupa pun nggak akan pernah ketahuan sama pendengarnya. Tapi Dream Theater ini justru vokalisnya (James LaBrie, orang Kanada sejati) benar-benar bening, bernada benar-benar tinggi, tipe vokal fundamental. Yang terakhir saya sebut, artinya benar-benar belajar cara bernafas yang baik dalam arti yang sebenarnya!
[caption id="attachment_160614" align="alignright" width="300" caption="Dream Theater - 2012"]
[/caption]
Dan diakhir pengamatan saya ketika mulai mendengar album The Scenes from a Memory: Metropolis part II, saya baru tau bahwa ternyata 3 diantara mereka adalah lulusan Berklee Music College, dimana sekolah tinggi musik ini yang terletak di Boston telah melahirkan musisi-musisi hebat Indonesia macam Andi Rianto (pencipta lagu), David Manuhutu (Jazz kid!), dan Willy Haryadi yang pernah bekerja untuk mengkomposisi musik ending di film Taiwan yang berjudul 1895. Coba dengarkan musiknya di sini (cari kata Willy Haryadi) dan di sini, dan juga Wiki tentang filmnya di sini.
Sekarang sudah tidak sadar, saya sudah punya kurang lebih hampir semua albumnya, mulai dari tahun 1989 - When the Dream and Day Unite yang ketika itu vokalisnya Charlie Dominici, gitarisnya John Petrucci, keyboardisnya Kevin Moore yang merupakan teman SMA-nya John Petrucci, bassis John Myung berkebangsaan Jepang kelahiran Amerika, dan nggak kalah menarik drummernya Mike Portnoy. Berganti vokalis ke James LaBrie hingga sekarang, berganti keyboardis ke Derek Sherinian hingga Jordan Rudess saat ini, dan pergantian yang cukup mengejutkan, drummernya Mike Portnoy hengkang akhir tahun 2011 dan digantikan Mike Mangini yang ternyata adalah dosen aktif di bidang studi percussion di Berklee Music College.