Lihat ke Halaman Asli

Takdir dan Kami (bag.1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pertengahan tahun adalah saat dimana matahari bekerja keras memproduksi panas berlebih. Menyengat sekali. Dan berbulan-bulan kami mengalami itu, sejak Maret-April sampai Oktober-November. Sekolah sembilan jam sehari, dan ketika pulang tenaga diperas oleh panasnya matahari dan otak yang bekerja kelebihan durasi. Beberapa kawan perempuan membawa payung untuk meredam terik yang menggila. Termasuk dia. Si pemilik mata indah.

Aku sedang berjalan pelan-pelan menuju halte, ketika kurasakan langkah-langkah kecil berlari mendekat. Ah, dia. Ketika sampai di depanku, dia tersenyum. Mencoba menaungiku dengan payungnya yang hanya muat setengah badanku.

"Ayo pulang sama-sama," kusut wajahnya tak nampak setelah seharian ini, dia tetap tampak ceria.

"Aku mau ke toko buku dulu, kamu pulang saja duluan."

"Aku ikut."

"Eh jangan. Nanti dicari sama mama kamu."

"Tidak apa, sebentar saja. Toko buku di Jalan Sudirman kan? Kebetulan kertas binderku habis."

"Nanti kubelikan, kamu ganti saja uangnya."

"Ih, pokoknya aku mau ikut!" dia merajuk lalu menggandeng tanganku. Payungnya tak lagi menutupi kepalaku. Jelas aku risih. Suaranya besar, hampir semua teman yang melintas ke situ mengarahkan pandangan ke arah kami. Beberapa cekikikan dan seperti bergunjing sambil berbisik-bisik. Aku hanya bersungut kecil. Dan seperti biasa, dia tersenyum lebar memperlihatkan gigi gingsulnya.

Kawan, dia mempunyai wajah yang amat menarik. Dia manis. Periang. Hampir tak pernah memperlihatkan kalau dia sedang marah, galau, atau sedang punya masalah. Dia selalu tersenyum dengan siapa saja. Tak heran dia dikenal banyak orang di sekolah kami. Namun dia sangat menjaga pergaulan. Dia perempuan yang keibuan, dan juga dewasa. Arinda, namanya.

Kami? Kami bukan sepasang pacaran. Arin agak anti dengan yang namanya pacaran. Begitupun aku. Motif kami beda. Dia merasa tidak perlu sementara untuk berdua-duaan dan menjalin hubungan dengan lelaki. Fokus pada belajar. Sementara aku, mungkin lebih pasrah menjalani takdir. Kadang-kadang harapan untuk punya pacar ada, tapi entah kenapa tak mau mencari, dan tak juga dicari. Jarang ada yang melirik padaku. Kasihan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline