Lihat ke Halaman Asli

Jogja Kotaku, Surganya ''Mereka''

Diperbarui: 20 September 2015   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Musim kemarau di Indonesia nampaknya membawa daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar negeri, Jogjakarta salah satunya merupakan surganya tempat classic nan bersejarah bagi para wisatawan mancanegara banyak alasan yang menurut londo (masyarakat jogja menyebut turis asing) menarik dan membuat mereka penasaran. Salah satu tempat yang mempunyai daya tarik yang menarik ialah keraton ngayogyakarta hadiningrat disinilah tempat yang masyarakat lokal hormati dan dijaga. Didalam keraton ini juga terdapat raja dari wilayah Jogya Sri Sultan Hamengkubuwno biasa orang yogya menyebut raja mereka.

Diwilayah keraton juga terdapat referensi tempat bersejarah berada contohnya, ada water castle, alun-alun kulon dan kidul, tamansari ditempat itulah tujuan para turis asing disamping keraton. Banyak alasan yang menyebabkan turis asing rela datang ke Jogja biasanya turis yang melacong ke Indonesia umumnya di negara bagian barat sedang terjadi musim dingin sedangkan di Indonesia musim kemarau hal itu yang menjadi salah satu alasan turis berbondong-bondong ke Inonesia umumnya dan Yogyakarta kususnya. Masyarakat Jogja juga terkenal ramah dan murah senyum kepada semua wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Di Jogja juga bisa dibilang pusatnya segala wisata, dari mulai wisata rohani hingga wisata malam juga terdapat di “kota pelajar” ini. Hal ini yang menjadikan pemerintahh kota Jogja akhir-akhir ini mempercantik tata ruang kota. Banyak wacana dari Sri Sultan Hamengkubuwono XI (gubernur Jogja) canangkan unuk mempercantik kotanya. Semoga semua wacana tersebut dapat terlaksana dengan lancar dan secepatnya.

Kembali ke Keraton, banyaknya turis masuk ke wilayah Keraton dan menexspolre wilayah ini secara menyeluruh tidak membuat para abdi dalem Keraton kewalahan justru mereka malah senang dengan kehadiran para wisatawan ini. Menurut Suwarjono salah satu abdi dalem, dia menuturkan “kita enjoy saja mas, lha wong ini juga tugas kita mengurusi para wisatawan kog”. Ketika ditanya banyaknya turis yang mmemasuki keraton dan jika mereka ingin mencari informasi lebih mendalam masalah keraton, beliau kembali menjawab dengan murah senyum “kalok masalah itu, biasanya dipusat informasi ada beberapa tour gudie yang stand by menjawab pertanyaan para turis itu mas, lha nek saya yo ra iso mas suruh ngomomong bahasa Inggris” jelasnya sambil tertawa santai.

Berbicara masalah bahasa pasti ada dan itu juga pasti banyak terjadi saat para turis ingin membeli sesuatu jajanan yang berada didepan pintu masuk keraton. Banyak pedagang yang tidak fasih atau malah tidak bisa sama sekali berbahasa universal (bahasa Inggris). Jhon Frommer dan pasanganya Clara Carneiro turis asal Belgia ini dia menuturkan “aku sesungguhnya tertarik dengan apa yang ditawarkan oleh penjual souvenir dan makanan ringan didepan pintu masuk tadi dan aku juga ingin membeli salah satu dari yang mereka tawarkan, tetapi menjadi sulit buatku untuk mengucapkan apa mauku, aku telah berbicara dalam bahasa Inggris yang mudah untuk dipahami menurutku tetapi mereka juga tetap tidak mengerti maksud omonganku” dengan wajah heran Jhon menuturkan masalah itu. Tidak heran jika ada misunderstanding antar penjual dengan turis. Penjual hanya mengerti kosa-kata bahasa inggris seperti ‘yes’ ‘no’ dan sejenisnya. Menurut pendapat pasangan Jhon yaitu Clara dia sangat menghargai dan amat sanagat tersanjung dengan keramahan masyarakat di Jogja.   

Jika kita membayangkan masyarakat Jogja dengan keramahan dan para turis dengan sifat mereka yang humble, saling mengerti satu sama lain saling tertawa dengan guyonan khas masyarakat jawa maka Jogja bisa menjadi destinasi nomor satu di Indonesia menggeser Bali tentunya. Semua hanya dapat disatukan dengan bahasa yang universal tentunya, sebenarnya kalau pemerintah kota Jogja mau dan mampu mendirikan semacam pelatihan bahasa Inggris bagi para pedagang sekitaran kawasan wisata itu akan sangat membantu untuk menambah kenyamanan para turis-turis tersebut.

Sesungguhnya Jhon dan Clara sudah sangat merasa nyaman dengan iklim dan suasana di Jogja. Mereka menuturkan tarif hidup relatif murah untuk ukuran kantong mereka “disini semua murah, lain seperti di Brussles (ibu kota Belgia)”. Memang yang di bilang Jhon itu benar adanya tarif hidup di Jogja memang relatif murah untuk para wisatawan mancanegara. Itu yang mengangkat perekonomian Jogja menjadi salah satu faktor penyumbang kas daerah selain dari sisi pelajar yang menimba ilmu di Jogja.

Fasilitas sudah ada iklim kondusif juga sudah tercipta. Tidaklah mustahil jika Jogja menjadi kota yang “sempurna” untuk para wisatawan lokal maupun mancanegara. Tinggal bagaimana masyarakat menyambut para wisatawana tidak hanya dengan senyum keramah tamahan warganya saja, akan tetapi dengan bahasa Universal yang dapat dicerna dengan baik dan menciptakan kota yang sempurna. Jika antara masyarakat lokal dan turis paham maksud antara satu sama lain, akan terciptanya keselarasan antara dua unsur kulit yang sangat indah dipandang. Orang dengan kulit sawo matang bercengkrama dengan orang kulit putih saling melontar senyum candaan yang membuat harmonisasi yang sejuk untuk dilihat dan untuk dicontoh oleh daerah-daerah di Indonesia. Mari sama-sama kita menciptaan Jogja yang benar-benar Istimewa baik dimata kita maupun dimata dunia. Istimewa bukan hanya tagline saja atau bukan sekedar lantunan musik belaka. Tetapi keistimewaan yang benar terwujud benar terelailasikan untuk kedepan, untuk Jogja yang tambah dipandang positive oleh masyarakat dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline