Cerpen Himawan Pradipta
[caption caption=""Baby Bomb" oleh Guan Yang (sumber: deviantart)"][/caption]
Kau tak pernah tau, bagaimana rasanya jadi aku. Punya anak satu rasanya tak pernah cukup. Di penghujung tahun kelima, beberapa kali sudah kubulatkan tekad untuk bicara empat mata dengan suamiku, bilang padanya bahwa aku ingin anak lagi. Satu saja. Peduli amat laki atau perempuan. Yang jelas, aku sadar Afis butuh teman main. Ia sudah mulai paham bahwa aku jarang di rumah, dan suamiku terlalu acuh untuk urusan popok, bubur bayi, atau kereta dorong. Sejak Afis lahir, sofa ruang tamu jadi singgasananya dan remot televisi teman mainnya. Lalu Mbak Lastri kemudian masuk ke rumah kami. Sudah cukup lama aku menunggu, dan aku tak boleh terluntang-lantung oleh arus air.
Sepulang dari kantor, seperti malam-malam sebelumnya, ia sudah tidur duluan. Lepas salat isya, ia enggan lagi berkumpul bersama para bapak sebelah di gubuk depan rumah, mengobrol hingga larut malam. Paling hanya tukar sapa di masjid. Itu juga kalau bertemu. Sering aku celingukan dari tempat pembatas shalat, mematainya. Sehabis salam, ia hampir langsung cepat-cepat keluar, seolah tak mau dilihat siapa-siapa, bahkan menungguku saja tidak! Makannya juga jadi tak teratur. Padahal, tiap hari kubuatkan menu kesukaannya: dendeng sapi, ikan teri, sayur kangkung, dan sambel ulek. Kuat kuberniat melakukan konfrontasi, hanya saja terlalu lelah. Lelah karena seolah aku dan dia sudah terbiasa dengan sikap anehnya selama ini, dan karena tujuan aku ingin bicara dengannya pertama kali adalah untuk bicara masalah anak kedua. Tapi yasudah, mungkin besok adalah waktunya. Kuperiksa kamar Afis, ia sudah terlelap dalam pelukan Mbak Lastri. Cepat saja, kukembali ke kamar dan, tanpa menanggalkan pakaian, menutup mata hati-hati.
***
Malam itu, kudapati tubuh suamiku terburai. Darah di mana-mana, mendominasi ruangan putih yang berkilau dari tiap pinggirnya. Kusapu pandangan, mencari wajah laki-laki itu. Mana dia? Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini? Kata-kata itu mencekikku. Tak tahan dengan aromanya, kututupi hidung sambil menundukkan wajah. Alamak! Awalnya maksudku begitu adalah mengalihkan pandangan, tapi mataku malah menangkap sepasang tangan terpajang di depan kaki. Menjijikkan! Kucoba berteriak tapi tak bisa. Kuingin menangis tapi terlalu kebas. Jadi, kuambil kulangkah demi langkah, dengan telapak tangan ditempel di lubang hidung. Perlahan kulalui anggota tubuhnya yang lain: usus, paru-paru, ulu hati, dan urat arteri, sambil bergidik. Syukurlah, di ujung jalan, sebongkah wajah, yang masih tersambung dengan tubuhnya, terlihat jelas dari tempatku berdiri. Saat kudekati, wajah itu hitam, seperti baru terbakar, tak ada kehidupan. Di sebelahnya, tergeletak objek hitam bundar yang ujungnya menancap satu sumbu bersulut api kecil. Tidak!
Percikan kuning itu menjalar pelan, menelan setiap lekukan sumbu, hingga ke titik nadirnya. Suara desisan pelan hanyalah satu-satunya teman dalam kesepian, dan ruangan mendadak jadi lebih panas. Aku mulai gerah. Tepat sebelum api meledakkan semesta, dalam putaran luar biasa cepat, kutangkap imaji seorang bayi kecil yang lucu, telanjang dalam popok putihnya, menggantikan benda itu, lalu berganti jadi benda hitam, lalu jadi bayi lagi—sebelum semuanya sirna.
***
“ANJANIIII!” sebuah suara ikut membangunkanku. Kulihat arloji di meja: 06.25. Astaghfirullah! Aku belum salat subuh!
“Mbak Lastri!” dan lima detik setelahnya seorang perempuan berwajah kemayu melengos masuk ke kamar bersama sapu dalam genggamannya. “Iya, Bu?” was-wasnya.
“Tolong liatin Bapak. Ibu mau subuh dulu.”