[caption caption="Sumber: arsiparmansyah.wordpress"][/caption]
Setiap kali mendengar cerita atau khatib Jumat tentang Ismail yang rela mengurbankan dirinya untuk disembelih ayahnya sendiri, saya takjub bukan main. Reaksi yang sama muncul ketika mendengar respons Siti Sarah kepada Ibrahim bahwa “Ini semua adalah ujian dari Allah swt,” sebelum akhirnya Ibrahim memantapkan hati dan mengambil pisaunya yang telah diasah tajam-tajam. Saat ia mendaratkan pisau di atas urat nadi Ismail, seperti sihir, seekor kibas tiba-tiba muncul, menggantikan jasad Ismail yang tergeletak pasrah di atas “meja batu”. Saya pun terkesiap dan berpikir: masya Allah, ternyata benar-benar ada orang yang rela menyembelih anaknya sendiri “hanya” berdasarkan mimpi yang dilihatnya semalam. Cerita versi inilah yang selama ini membekas hingga menjadi bedtime story sewaktu saya kecil.
Meskipun begitu, Karen Armstrong, dalam mahakaryanya A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity, and Islam, menceritakan kisah ini dengan sudut pandang agama yang berbeda. Ia menggambarkan situasi yang terjadi bahkan sebelum bocah yang disebut-sebut Ismail lahir. Sebelumnya, dalam Alkitab, Ibrahim digambarkan dengan nama Abraham, seseorang yang beriman karena percaya bahwa Tuhan akan menepati janji-janjinya, sekalipun janji-janji itu tampak tak masuk akal. Saat itu, Tuhan menjanjikan bahwa Abraham akan menjadi “bapa sebuah bangsa yang besar” atau, seperti yang saya tau, “bapaknya para nabi.” Namun begitu, istrinya Sarah justru diceritakan sebagai seorang perempuan yang mandul. Armstrong pun mempertanyakan: bagaimana Abraham bisa menjadi sebuah bapa bangsa yang besar jika istrinya tak bisa memiliki anak?
Kejanggalan itu diperparah dengan fakta bahwa Sarah sudah melewati masa menopausenya, sehingga kans untuk memiliki anak atau generasi penerus semakin tidak mungkin. Hingga suatu ketika, saat mendengar janji Tuhan bahwa Abraham akan menjadi bapa bangsa yang besar, keduanya pun tertawa, sampai seorang anak laki-laki tak disangka-sangka lahir ke dunia, yang mereka beri nama Ishak, atau secara harfiah bisa diartikan “tertawa.” Namun demikian, kelakar tersebut berubah serius saat Tuhan menetapkan tugas yang berat: Abraham harus mengurbankan anak lelaki tunggalnya kepada Tuhan. Abraham pun dilema. Di satu sisi, anak lelaki itu mungkin menjadi satu-satunya pewaris Abraham sebagai bapa bangsa selanjutnya; di sisi lain, menolak tugas dari Tuhannya berarti membangkang dan melawan kepercayaannya sendiri. Walhasil, ia memilih untuk mengikuti kata hatinya: menuruti perintah Tuhan, segila apapun itu. Di poin ini, Armstrong menambahkan bahwa pengurbanan manusia merupakan hal lazim di dunia pagan; kejam namun logis dan rasional.
Motivasi Abraham untuk mengikuti tugas Tuhannya yang berat itu dan menyembelih anaknya sendiri semakin diperkuat dengan fakta bahwa sebetulnya Ishak bukan benar-benar anaknya. Ia hanyalah “hadiah dari Tuhan” dan bukan anak alamiahnya, sehingga ia tak punya alasan untuk berkurban—tak ada kebutuhan untuk “mengembalikan energi Tuhan.” Seperti yang diutarakan Armstrong bahwa pengurbanan manusia merupakan hal yang lazim di dunia pagan. Lebihnya lagi, anak pertama kerap diyakini sebagai keturunan dewa yang telah menghamili si ibu melalui tindakan droit de seigneur[1] atau immaculate conception[2]. Sehingga, ketika dewa beranak, energinya menjadi menipis, dan untuk mengisinya kembali dan mempertahankan sirkulasi seluruh mana[3] yang ada, anak pertama itu harus dikembalikan kepada orangtua dewatanya. Alasan inilah yang kemudian menguatkan langkah-langkah Abraham untuk “mengembalikan” Ishak kepada Tuhan.
Setelah menempuh tiga hari perjalanan, Abraham dan Ishak pun mencapai Gunung Moria (sekarang menjadi tempat berdirinya Kuil di Yerusalem). Ishak, yang masih polos tentang titah atau janji ilahi, dengan sabarnya mengumpulkan kayu bakar dan memikulnya untuk pengurbanan dirinya sendiri. Hingga di momen-momen terakhir, saat Abraham siap dengan sebilah pisau di tangannya, Tuhan “menjadi iba” dan dan mengatakan kepada Abraham bahwa hal itu hanya sebuah ujian. Tidak seperti cerita yang selama ini saya dengar, tak ada seekor kibas sebagai tebusan atas keikhlasan Abraham menyembelih Ismail (atau Ishak?) di atas meja batu. Ishak tetap hidup, sehat wal afiat, dan pada saat yang bersamaan, Abraham pun membuktikan dirinya layak menjadi bapa sebuah bangsa besar, yang, dalam bahasa Armstrong, “jumlahnya akan sebanyak taburan bintang di langit atau hamparan pasir di pantai.” Tapi tak ada kibas.
Versi cerita di atas benar-benar menjawab rasa penasaran saya tentang otensitas kisah legendaris Nabi Ibrahim dan heroik Nabis Ismail kecil yang selama ini saya dengar di kamar tidur atau masjid tempat saya mengaji. Tak hanya itu, kisah ini membuat saya sadar bahwa semua cerita yang saya kira saya tau tak hanya bersumber dari satu ajaran atau kredo tertentu. Awalnya saya mengira bahwa kisah ini hanya digaungkan oleh orang-orang Muslim, yang tak bosan-bosannya diceritakan kembali saat momen lebaran haji. Ternyata, setelah membaca buku Armstrong, saya baru sadar bahwa Alkitab pun punya versi kisahnya sendiri, hanya saja pengunaan nama karakternya yang berbeda. Lalu, apakah mungkin kitab-kitab lain punya versinya masing-masing? Bagaimana dengan cerita lain yang saya juga tau saat saya masih kecil, seperti kisah tenggelamnya kapal Nabi Nuh atau pasukan Nabi Musa dan Fir’aun? Entahlah. Mending saya tidur saja. Kan ini sedang khutbah Jumat, ingat?
Catatan
[1] droit de seigneur adalah terma dalam bahasa Perancis yang berarti "hak sang raja", atau dalam bahasa Latin diartikan secara harfiah sebagai "hak malam pertama." Menurut Wikipedia, terma ini menggambarkan situasi di mana seorang raja feodal berhak menyetubuhi wanita yang statusnya di bawah raja tersebut pada malam pernikahan mereka.
[2] immaculate conception adalah istilah yang diajarkan gereja katolik untuk proses kelahiran Yesus dari rahim Bunda Maria lewat tangan Tuhan.