[caption id="attachment_277536" align="aligncenter" width="588" caption="Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption] Setiap orang, pada dasarnya, memiliki hak untuk bersuara, berpendapat, dan bahkan menentang. Hak ini digunakan oleh berbagai orang dengan kepentingan dan keperluan yang berbeda-beda. Hak ini juga bisa dipakai untuk membela dirinya sendiri, membela orang lain atau justru menyanggahnya. Satu dari berbagai bentuk menyuarakan pendapat bisa dalam bentuk tulisan atau segala sesuatu yang sifatnya sastrawi. Entah itu puisi, cerita pendek, sajak, novel, atau drama. Semua itu merepresentasikan bentuk aspirasi, yang berkecenderungan agar pendapat-pendapat itu dapat "didengar" oleh orang lain. Hari ini, dalam kelas Survey of American Literature, kelas kami membahas subjek tersebut. Saya sangat tertarik karena terdapat beberapa hal yang baru saya kenal dalam bentuk-bentuk penyuaraan tadi. Di Amerika tahun 1960-an, misalnya, salah satu teknik yang paling populer adalah dengan melakukan pembacaan (reading). Pembacaan ini bisa meliputi apa saja yang berbau sastra, misalnya sajak dan puisi. Ini mulai dijadikan tradisi oleh orang-orang Amerika, khususnya orang-orang Afrika-Amerika, meningat adanya sebuah kepercayaan yang sudah mengakar dalam benak mereka, atau yang sering disebut dengan The American Dreams. Ini merupakan sebuah ideologi mendasar di mana orang-orang Amerika agar "suara"nya bisa didengar. The American Dreams ini adalah wadah pemikiran dari ide-ide, aspirasi, dan mimpi-mimpi yang mereka miliki, dan harus disuarakan agar mereka bisa tetap bertahan dalam perombakan dunia dan permasalahan di Amerika yang secara konstan terus berubah, dari waktu ke waktu. Yang menariknya, berbeda dengan Indonesia pada jaman itu, ternyata di sana ada komunitas-komunitas tertentu yang waktu-waktu luangnya dihabiskan dengan "beradu sajak." Dibandingkan dengan sekarang, yang cenderung ber-adu dance atau adu nyanyi, orang-orang sana waktu itu justru lebih suka adu-aduan sajak. Istilahnya kayak adu pantun orang Betawi setiap kali mau nikah gitu deh. He he. Buat anak sastra, I still couldn't believe how cool it must have been back then! [caption id="" align="aligncenter" width="350" caption="Slam Poetry/Adu Sajak (sumber: danspapers.com)"]
[/caption] Amerika waktu itu sedang berada di tengah-tengah keadaan di mana pemerintahnya berlaku tidak adil, atau muncul peraturan-peraturan yang tidak lazim. Maka dari itu, orang-orang berusaha mencari cara untuk melawan kekuasaan otoriter yang tampaknya secara terus-menerus menekan keberlangsungan kehidupan mereka. Mereka pun bersiasat untuk mengumpulkan ide dan merangkainya dalam bentuk sajak. Berikut ini adalah video puisi berudul "Fatherless" yang dibacakan oleh seorang Afrika-Amerika, dapat diakses sini: http://www.youtube.com/watch?v=vyxqkBkCXT4#at=82 Di video ini, jika teman-teman perhatikan, si pembaca puisi terlihat seperti orang yang berbicara, kayak orang ngobrol. Tidak seromantis atau selebay seperti yang seharusnya. Ini memang menjadi ciri khas dari Amerika pada tahun itu. Mereka secara bebas menyuarakan apa yang mereka pikirkan--apa saja: pemerintah, lingkungan yang kotor, kemacetan, kebersihan toilet, lampu merah, polisi lalu lintas, hubungan ibu-anak, dan lain-lain. Jangan heran, lha kemunculan slam poetry ini ternyata berbarengan dengan lahirnya musik rap dan hiphop. Kalo kata dosen saya, "puisi jenis ini merupakan kumpulan dari status messages di facebook. Bedanya, yang ini dituturkan dengan nada dan ritme." Hmm. Seluruh murid di kelas pun tergelak. Berbeda dengan Indonesia, bentuk-bentuk semisal stand-up comedy yang akhir-akhir ini sedang naik daun, untuk membuatnya populer, harus menggaet orang-orang banyak terlebih dahulu atau harus menggelar acara tertentu. Tidak seperti di Amerika, yang pada waktu itu, jika ada lahan kosong atau panggung kafe yang nganggur, orang-orang yang doyan "nyajak" itu tinggal pasang tikar, dan membaca sekeras mungkin. Tidak sadar, orang-orang di sekitarnya pun tergugah dan mulai berdatangan. Kepopuleran si penampil tadi bisa semakin meningkat kalau dia makin sering tampil di publik. It is no wonder how easily people, especially Americans, became famous back then and nowadays, right? Saya ambil contoh dengan melihat fenomena-fenomena artis yang mengalami kejadian identik, seperti Justin Bieber, yang sebelum sepopuler sekarang, kerjaannya dulu "hanya" menyanyi di pinggir jalan. Bermodalkan suara emas dan kemampuan bermain musik yang ciamik, tanpa ada undangan sebelumnya atau apapun, ia mampu menggaet atensi orang-orang. Hingga akhirnya, kerabatnya mengabadikan kegiatannya bernyanyi dalam bentuk video, dan voila! Jadilah dia penyanyi paling populer di Amerika, dan seluruh dunia, beberapa tahun setelah videonya tayang di situs sosial Youtube. See? Saya pun melihat bahwa dengan kemauan dan keinginan untuk tampil di depan umum, orang-orang itu bisa menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat bagi banyak orang, sesuatu yang berkesan dan inspiratif. Gimana gak bermanfaat? Setelah nonton kita membawakan puisi-puisi itu dengan gaya kita, pasti ada perasaan senang yang menjalar, yang sulit dijelaskan. Ya, dibandingkan yang bisa nyanyi, bisa main musik tapi gak pernah mau tampil, ini yang jelas keliru. he he. Dengan demikian, kelas Sastra Amerika hari ini ditutup dengan tantangan dari Pak Ari: tampil di kampus membawakan puisi-puisi yang pernah terbit di tahun 1960-an (dengan gaya pembacaan yang sama!) di depan orang banyak atau membuat video dengan melakukan hal yang sama. Saya tepekur. Coba dulu deh, kali aja bisa sesukses Justin Bieber, pikir saya. Hihihih :) Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H