Salah satu momen yang paling membuat bulan Ramadhan di perantauan begitu menarik, bagi saya, adalah ketika harus santap sahur dengan keluar asrama pagi-pagi buta, sekitar pukul 02.00, untuk mencari warung yang menyediakan nasi beserta lauk pauknya. Santap sahur seperti ini, sepertinya, membuat saya sekalian berolahraga pagi seperti jogging setelah subuh. Toh, perjalanan mencari santap sahur itu juga lumayan jauh karena harus memutar komplek kampus.
Itu di satu sisi. Namun, ketika saya memikirkan lebih dalam, ternyata makna sahur yang saya jalani tidak bermakna demikian saja. Santap sahur, sebagaimana yang kita ketahui, salah satu manfaatnya adalah sebagai persiapan untuk menjalani puasa di siang hari. Sunnah memang, hukumnya, namun tidak jarang banyak yang mengambinghitamkan pembatalan puasa hanya karena tidak sahur. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa persiapan itu bukan hal yang dapat dianggap remeh, bahkan juga harus diperjuangkan.
Sering sekali kita mendengar pernyataan yang mengungkapkan bahwa gagal dalam perencanaan adalah merencanakan kegagalan. Kira-kira seperti itulah pentingnya sebuah persiapan. Ia adalah kunci pekerjaan. Seorang bijak pernah mengatakan: andai saya diberi waktu tiga jam untuk memotong sebuah pohon besar, saya akan pergunakan dua jam untuk mengasah pisau. Hanya satu jam untuk memotongnya dengan pisau yang sudah sangat tajam.
Saya menjadi teringat dengan masa-masa mengerjakan skripsi, yaitu ketika saya harus merumuskan proposal yang merupakan bagian perencanaan penelitian yang kelak berupa skripsi. Di bagian tersebutlah, saya menuliskan bagaimana kelak skripsi itu akan saya kerjakan, saya tuliskan, saya analisis hingga akhirnya saya susun. Itulah bagian yang menampilkan sketsa awal dari skripsi saya tersebut. Penulisan proposal akan sangat terkait dengan penulisan skripsi. Jika proposal menampilkan gambaran yang baik, maka peneliti akan cenderung lebih mudah untuk mengerjakan skripsinya. Begitu pula sebaliknya.
Saya juga teringat ketika menuliskan buku Peaceful Jihad for Teens yang membutuhkan waktu hingga tiga minggu dalam pengumpulan bahan dan merancang calon daftar isi. Tiga minggu waktu yang saya gunakan untuk berdiskusi, bertanya, membaca buku, menonton berita, dan segala yang diperlukan untuk mendapatkan bahan yang dapat saya tuliskan. Selanjutnya, waktu tiga minggu itulah yang akhirnya memudahkan saya untuk dapat menuliskan semua bahan yang telah terkumpul dalam waktu satu minggu. Buku akhirnya selesai dalam waktu satu bulan, hitungan kasar.
Kembali ke permasalahan awal, santap sahur, sebagaimana yang saya jelaskan tadi, mengajarkan saya untuk tidak meremehkan persiapan. Di segala segi kehidupan itu berlaku. Santap sahur pun, mengharuskan saya untuk berjalan lumayan jauh untuk dapat memperoleh makanan. Begitu pula kiranya persiapan, tidak cukup hanya sekilas saja untuk memikirkannya. Perlu kematangan yang dalam agar dapat melihat secara jelas bagaimana kejadian yang akan terjadi dalam pengerjaan apa yang direncanakan tersebut. Hingga akhirnya, ketika setelah sahur, puasa pun dapat dilakukan tanpa mengurangi keproduktivitasan. Perencanaan yang baik akan berdampak pada perjalanan hal-hal yang direncanakan.
Itu cerita sahur saya, bagaimana cerita sahur Anda?
Semoga ada yang bisa dipetik...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H