Beberapa hari yang lalu seorang sahabat mendapatkan kemudahan untuk mendaratkan kakinya di tanah aborigin Australia. Ia berkunjung ke Melbourne untuk urusan dinas nya sebagai pengajar. Banyak oleh oleh yang sahabat saya bagikan kepada kami di kampus, namun tidak ada yang lebih menarik dari ceritanya tentang kota terpenting kedua dari segi bisnis dan kedua terbesar di Australia serta kota terbesar di Victoria. Menurut sensus 2001 jumlah penduduk kota Melbourne adalah 3.488.750 jiwa dengan 45% penduduknya lahir di luar negeri. Dari 140 kota di seluruh dunia, Melbourne mendapatkan peringkat sebagai kota 'paling layak huni' di dunia (Economic Intelligence Unit 2011). Peringkat ini berdasarkan pada standar pendidikan, infrastruktur, budaya dan lingkungan, perawatan kesehatan dan stabilitas. Dan yang menarik di sana juga anda akan mendengar orang berbicara dalam lebih dari 150 bahasa yang berbeda. Secara umum Australia tidak memiliki agama Negara bagian. Pada sensus 2006, 64% warga Australia yang tercantum diri mereka sebagai Kristen, termasuk 26% sebagai Katolik Roma dan 19% sebagai Anglikan. Sekitar 19% dari populasi yang dikutip "Tidak ada agama" (yang termasuk humanisme, ateisme, agnostisisme, dan rasionalisme), yang merupakan kelompok paling cepat tumbuh dari 2001 hingga 2006, dan 12% lebih tidak menjawab (pertanyaan adalah opsional) atau tidak memberikan tanggapan yang cukup penafsiran. Agama non-Kristen terbesar di Australia adalah Budha (2,1%), diikuti oleh Islam (1,7%), Hindu (0,8%), dan Yudaisme (0,5%). Secara keseluruhan, kurang dari 6% dari Australia mengidentifikasi dengan agama non-Kristen. Kehadiran mingguan pada layanan gereja pada tahun 2004 adalah sekitar 1,5 juta: sekitar 7,5% dari populasi. Namun coba lihatlah sudut sudut kota ini, bersih dan rapi.
Saya bermimpi, alangkah tertib dan indahnya jika saja Jakarta bias seperti kota Melbourne ini. Bersih, tertib dan menerima multi etnis dan budaya. Namun penasaran juga apa yang membedakan antara mereka dengan kita, sehingga bisa berbeda jauh seperti ini. Sahabat saya pun bercerita budaya mereka dalam berbicara langsung "to the point" tidak banyak menggunakan kata- kata bercabang atau pun memuji muji tidak penting lainnya. Selain menghemat waktu namun budaya ini betul betul efisien.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI