Lihat ke Halaman Asli

Masyarakat Bagai “Domba” yang Digiring Media Massa

Diperbarui: 21 September 2015   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dewasa ini media massa menjadi sumber informasi utama bagi khalayak nyaris tak ada kegiatan masyarakat yang lepas dari media massa baik itu dari televisi, radio, surat kabar maupun film, jadi media sangat mungkin memegang kendali atas masyarakat. Pada hakikatnya media massa yang juga termasuk dalam komunikasi massa yang memiliki arti :

  1. Komunikasi massa adaloah proses uintuk memproduksi dan mensosialisasikan atau institusionalisasi (difusi, membagi) pesan/informasi dari sebuah sumber kepada sasaran/penerima.
  2. Komunikasi massa merupakan komunikasi satu arah yang merupakan kebalikan dari komunikasi tatap muka antar pribadi yang dua arah.
  3. Komunikasi massa adalah suatu rangkaian aktivitas atau proses yang dimotori oleh komunikator yang secara profesional menggunakan teknologi pembagi untuk menyebarluaskan pesan-pesan melintasi jarak/ruang untuk mempengaruhi audiens yang luas. (Wilson, 1989)
  4. Komunikasi massa adalah bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) untuk menghubungkan komunikator dengan komunikan secara masal, berjumlah banyak, bertempat tinggal jauh, sangat heterogen dan menimbulkan efek-efek tertentu

(Source : Komunikasi Serba Ada Serba Makna)

Televisi sebagai media massa yang sangat digemari oleh masyarakat dan lebih berpotensi dalam memegang kendali atas informasi yang di dapat oleh masyarakat. Yang menjadi persoalan saat ini adalah, apakah televisi yang berfungsi sebagai komunikasi massa sudah memproses, memproduksi, dan mensosialisaikan atau membagi pesan/informasi dari sebuah sumber kepada khalayak secara bijak ? Pertanyaan tersebut timbul saat melihat situasi pertelevisian di Indonesia yang semakin hari kehilangan fungsi utamanya.

Jika melihat kondisi pertelevisian Indonesia beberapa bulan yang lalu tepatnya pada saat pemilu, stasiun-stasiun televisi memiliki tujuan dan kepentingan masing-masing, apalagi jika melihat sosok dari pemilik stasiun-stasiun televisi tersebut memiliki latar belakang seorang politisi. Siaran televisi yang sudah menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari sangat berpotensi untuk digunakan para penguasa yang memiliki kepentingan umtuk mencapai tujuanya. Sangat jelas bahwa setiap stasiun televisi yang memiliki kepentingan melakukan framing terhadap para calon presiden yang menjadi koalisi para pemilik masing-masing stasiun televisi. Framing adalah strategi yang dilakukan media agar khalayak memiliki opini yang diinginkan oleh media tersebut tanpa memberi tahunya secara langsung, media tidak memberi tahu apa yang harus kita pikirkan namun mempengaruhi apa yang kita pikirkan (Benjamin Cohen 1982).

Siaran-siaran televisi khususnya berita selalu bermuatan kampanye untuk membentuk citra masyarakat terhadap calon presiden yang didukungnya. Siaran berita menyajikan informasi yang dianggap penting di ketahui oleh masyarakat agar citra Capres tersebut naik. Sesuai dengan teori Pembingkaian/Framing media tidak memberitahu apa yang harus kita pikirkan artinya media tidak pernah menympaikan kepada masyarakat agar memilih Capres yang di dukungnya, namun media “menyekoki” khalayak dengan informasi tentang Capres tersebut, bisa dikatakan media sedang mempengaruhi masyarakat dalam membangun opini.

Seakan tidak mau berhenti, setelah pemilu selesai siaran berita masih menunjukan keberpihakanya kepada calon yang di dukungnya. Media yang berpihak pada calon yang kalah kini seakan-akan menjadi pihak oposisi dari pemerintahan selaras dengan partai yang menjadi keberpihakanya. Sedangkan stasiun televisi yang mendukung Capres yang menang akan terus menjaga citra pemerintahan yang sedang di jalankan oleh koalisinya. Disini stasiun-stasiun televisi tersebut melakukan Agenda Setting.

 Maxwell McComb dan Donald Shaw mengemukakan bahwa media massa memiliki kemampuan untuk memindahkan wacana dalam agenda pemberitaan kepada agenda publik. Sesuatu yang dianggap penting oleh media maka hal tersebut akan menjadi penting untuk dipublikasikan.

Contohnya di Indonesia adalah saat pemerintah melakukan/mengambil langkah yang cukup beresiko dan berdampak negatif pada masyarakat, media yang menjadi pihak oposisi akan mem-blow upberita tersebut untuk menciptakan opini di masyarakat bahwa kinerja pemerintah buruk, namun ini sebenarnya adalah suatu kebenaran/fakta, tetapi dengan tindakan media yang mem-blow up berita ini jadi terkesan di lebih-lebihkan. Sementara stasiun televisi yang menjadi pendukung pemerintah akan mem-blow up berita lain agar masyarakat teralihkan perhatianya kepada berita yang lain, dan berita tentang kinerja buruk pemerintah perlahan-lahan tenggelam dengan berita lain.

Kesimpulannya masyarakat harus sensitif dalam menerima suatu informasi dari media massa, sensitif disini berarti masyarakat harus pandai menyaringinformasi yang di suguhkan oleh media agar dapat memperoleh informasi yang sesuai relitas/fakta. Dan sebaiknya masyarakat juga mencari referensi sumber informasi sari stasiun televisi lain yang bersifat netral untuk dijadikan sumber informasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline