Lihat ke Halaman Asli

Mereka Saling Bersahutan

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Genderang Pesta Demokrasi telah ditabuh bergemuruh di seantero Jakarta.  Peraga kampanye semarak mewarnai setiap sudut ibukota. Bersahutan memekakkan telinga warga yang kian sulit terlelap. Menyilaukan setiap pasang mata yang tak mampu lagi berkejap.

Dan, dalam imajiku, kusapa para calon pemimpin Jakarta yang tengah asyik mengobral asa. Kutanya mereka, satu persatu, apa makna slogan kampanye  yang harus dibentangkan silang melintang? Kebanyakan, beragam dalih dan bual yang lantas membenarkan pola tingkah latah mereka dalam berpesta.

Sambil memilin kumisnya, Fauzi Bowo lancar berkoar emosi. “Ya jelas donk, saya sebagai juara bertahan harus mempertahankan eksistensi saya melalui peraga-peraga kampanye ini. Supaya Jakarta Maju Terus, warga harus tahu siapa yang jadi gubernurnya selama ini. Warga juga harus tahu kalau selama saya jadi gubernur banyak program yang sudah berjalan dengan baik.”

Ah yang benar saja, semua juga tahu anda adalah gubernur. Dan, semua warga Jakarta juga tahu banyak ketidakberesan selama kepemimpinanmu. Tak perlu dituliskan satu persatu ketidakberesan itu, semua sudah tercermin pada riuh cemoohan di setiap penyampaian visi dan misi kampanyemu.

Lalu, Hendardji Soepandji tak mampu menahan kekehannya. “Hehehe… itu benar. Gubernur yang ada ini sudah gagal. Itulah mengapa kami juga perlu tampil dengan spanduk yang tak kalah meriah centang perenang membentang. Karena itulah, Jakarta Jangan Berkumis (berantakan, kumuh dan miskin) lagi bila nanti sudah bersama saya.”

Wah, Bapak sepertinya sentimen sekali kepada yang berkumis. Mestinya, sebelum mengajak warga Jakarta mencukur kumis, Bapak sendiri harus mawas diri. Bukan perkara penampilan anda yang memang apa adanya klimis. Melainkan lebih kepada kenyataan diri anda jauh lebih miskin dalam eksistensi.

Pendapat saya itu kemudian ditimpali Joko Widodo sembari tersenyum simpul. “Saya akan turun ke lapangan untuk membangun Jakarta Baru. Semua konsep untuk membangun Jakarta sudah ada dan itu bagus-bagus. Tinggal bagaimana nanti pemimpinannya mengatur agar Jakarta jangan salah urus.”

Mas, ujar saya, bagaimana membarui Jakarta kalau sampeyan sendiri di ibukota ini orang baru. Apalagi sampeyan hanya berpengalaman sebagai walikota, sedangkan warga Jakarta sedang berpesta asa mencari seorang gubernur. Sampeyan terlalu menggebu-gebu, menderu-deru bak mobil Esemka yang ternyata tak mampu melaju. Kepercayaan diri sampeyan menyimbolkan sesuatu yang, maaf, sungguh absurd.

Berikutnya Hidayat Nurwahid bicara, mirip-mirip berkhutbah sebenarnya. “Saya mengajak semua warga yang beriman, Ayo Beresin Jakarta! Jangan ragukan saya yang pernah memiliki pengalaman memimpin Senayan. Jangan juga ada jual beli suara. Itu merendahkan martabat warga.”

Hmmm…, sebaiknya Pak Ustadz lebih bijak memisahkan ranah politik dan agama. Pemilukada bukan forum pengajian. Jakarta bukan kumpulan orang-orang pintar yang pernah Anda pimpin di Senayan. Butuh kerja keras dalam heterogenitas warga ibukota. Tak cukup sekadar nasihat usang.

Senyum lalu tersungging di bibir Faisal Basri. “Makanya saya mengajak Berdaya Bareng-bareng mulai saat ini. Sebagai calon independen, saya harus mengajak semua warga Jakarta berjalan seiring. Hanya dengan kebersamaan, adalah keniscayaan Jakarta bisa maju bila saya yang memimpin.”

Tapi, Abang ini sebenarnya ingin memimpin atau sekadar bermimpi. Kepiawaian anda sebagai pemikir memang cukup lumayan terbukti. Tapi, sebagai pemimpin nanti dulu, sebab dahulu kala anda pernah gagal berdaya bareng membangun partai. Lagi pula, dalam Pilkada kali ini, massa mana yang ingin digiring untuk memilih?

Terakhir, agak sungkan, Alex Noerdin terpaksa urun pemikiran. “Saya tidak ingin, tapi diminta ke Jakarta. Berdasarkan kajian ilmiah dari para pakar,  sebenarnya segala persoalan Jakarta 3 Tahun Bisa tuntas. Bila saya terpilih, di hari pertama, pendidikan gratis segera terlaksana. Tahun pertama, semua warga sudah bisa menikmati fasilitas kesehatan tanpa perlu membayar.  Banjir dan macet terlupakan di tahun ketiga.”

Bisa dipahami, anda pantas gelisah melihat seorang sejawat telah dicap gagal memimpin Jakarta. Bisa dipahami pula, Anda gregetan untuk segera membawa ibukota negara ini menuju kota berkelas dunia. Semua bukan dengan upaya semu menggelimangkan peraga kampanye di jalanan. Jakarta memilih berlandaskan rasionalitas logika. Jika selama ini Jakarta berantakan, tidak ada prajurit yang salah. Yang salah adalah pemimpinnya. Dan dia adalah pemimpin ‘berkumis’ itu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline