Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai jalan bagi mereka-manusia untuk memiliki keturunan, beranak, menjaga eksistensi peradaban manusia, setelah masing-masing dari mereka (laki-laki dan perempuan) sudah siap menjalankan peran positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan yang sah. Suatu pernikahan sebaiknya memiliki kemampuan untuk menjalankan peran, materi, usia, hingga kematangan psikologis. Hal-hal tersebut nantinya akan menentukan kelangsungan atau umur dari sebuah pernikahan. Perwujudan dari tujuan pernikahan secara baik, tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Ketentuan dalam 28 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawian hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun, ketentuan tersebut dapat memungkinkan terjadi perkawinan dalam usia anak pada anak wanita karena pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang tentang Perubahan Atas Unndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengaturan batas minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria, maka secara hukum, wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga.
Pada UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Dalam hal ini, batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 tahun. Batas usia yang dimaksud, dinilai telah matang secara jiwa dan raga untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik, tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang sehat dan berkualitas.
Mengenal Lebih Dekat dengan Pernikahan Dini
State of world Population 2013 yang diluncurkan Lembaga Dana Kependudukan PBB (UNFPA) dalam (Ningsih dan Rahmadi, 2020) menyebutkan, bahwa 70 ribu kematian remaja terjadi setiap tahun akibat komplikasi yang dialami semasa kehamilan maupun persalinan. Angka risiko dari kematian bayi lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting. Lebih lagi, pernikahan dini juga berkorelasi erat dengan perosalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tingginya angka putus sekolah, bahkan risiko tertular penyakit seperti HIV / AID dan Obstetric Fistula. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dalam (Liesmayani et al., 2022) menunjukkan bahwa sebanyak 16 juta kelahiran terjadi pada ibu yang berusia 15 - 19 tahun atau 11 % dari seluruh 3 kelahiran di dunia yang mayoritas (95%) terjadi di negara berkembang.
Masa remaja adalah periode transisi di antara masa kecil dan dewasa, yang dicirikan oleh pertumbuhan dan perkembangan biologis, serta psikologis. Secara biologis, ditandai oleh perkembangan organ seksual primer dan skunder, sementara dari segi psikologis. terlihat dalam sikap, perasaan, keinginan, dan emosi yang cenderung labil. Pernikahan dini menjadi sorotan dalam percakapan remaja dan masyarakat. Fenomena ini, turut menyebabkan banyak remaja menghentikan pendidikannya, menyia-nyiakan kesempatan untuk megejar ilmu. Dalam konteks pendidikan, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua, anak, dan mayarakaat dapat menyebabkan kecenderungan untuk menikahkan anak di usia dini, hingga membawa risiko yang signifikan bagi ibu dan janin selama proses persalinan.
Pernikahhan pada usia dini, seringkali menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Tidak dapat disangkal, bahwa fenomena ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan pernikahan, baik itu berasal dari internal keluarga kecil itu sendiri, maupun berasal dari faktor di luar keluarga. Penyebab pernikahan usia dini antara lain dapat terjadi karena adanya paksaan dari pihak orang tua, pergaulan bebas, rasa keingintahuan tentang dunia seks, faktor lingkungan, rendahhya pendidikan, hingga faktor ekoomi. Pernikahan dini juga dinilai mempunyai risiko yaang cukup serius yerkait permasalahan kemiskinan, kesehatan bayi, hingga rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) khusunya berdampak pada perempuan.
Dispensasi Pernikahan yang Dikabulkan oleh Pengadilan Agama
Dispensasi pernikahan artinya keringanan yang diberrikan pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan pernikahan. Dispensasi pernikahan diatur dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7, sebagai berikut:
1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Orang tua pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukuup.