Lihat ke Halaman Asli

JKN Malaikat atau?

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dimulai pada 1 Januari 2014, Indonesia memasuki babak baru dalam dunia pelayanan kesehatan, yaitu diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan transformasi dari PT Askes. Menurut Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013, jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Seperti yang bisa kita tangkap disini, niat mulia JKN dimaksudkan agar rakyat Indonesia memiliki jaminan kesehatan, tidak perduli kaya atau miskin, pria atau wanita, tua atau muda, semuanya harus terjamin untuk mendapatkan jaminan dan pelayanan kesehatan yang layak. Semua warga Indonesia wajib menjadi peserta JKN dengan membayar premi yang dianggap “layak” oleh pemerintah, yaitu untuk kelas III membayar premi sebesar Rp. 25.000/orang/bulan, kelas II membayar premi sebesar Rp. 42.500/orang/bulan dan untuk kelas I membayar premi sebesar Rp. 59.500/orang/bulan. Mungkin pembayaran premi ini tidak menjadi masalah bagi pegawai negeri atau pekerja formal lainnya, yang pembayaran premi sudah dipotong dari gaji. Ataupun oleh masyarakat yang menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang mana premi sudah disubsidi oleh pemerintah. Bagaimana dengan rakyat tidak mampu yang tidak terdaftar menjadi PBI? Apakah premi yang telah ditetapkan tersebut sudah manusiawi?

Sebenarnya tulisan ini terinspirasi dari obrolan penulis dengan Ibu ketika penulis pulang liburan semester lalu. Berdasarkan cerita yang penulis dapat dari Ibu, di kampung halaman penulis masih ada beberapa orang yang tidak mendaftar menjadi anggota BPJS. Ketika ditanya alasannya, ternyata karena mereka menganggap premi yang harus dibayar setiap bulannya tergolong mahal dengan tingkat ekonomi mereka. Salah satu keluarga yang tidak mendaftar BPJS tersebut tergolong keluarga yang tidak mampu, yang mana istrinya hanya ibu rumah tangga dan suaminya hanya kerja serabutan, ditambah lagi mereka mempunyai 5 orang anak karena tidak ikut program KB. Kalaupun mereka mendaftar BPJS dan mengambil kelas III, itu berati mereka harus membayar total premi sebesar Rp.175.000 setiap bulan. Nominal tersebut dianggap mahal dengan pendapatan mereka yang tidak menentu jumlahnya setiap bulan, tentu ini menyulitkan mereka. Bagi masyarakat yang bernasib sama seperti contoh keluarga tersebut, tentu premi BPJS dianggap jauh lebih mahal dibandingkan dengan JPKM dulu, yang mana kalau tidak salah ingat masyarakat hanya membayar Rp. 15.000/keluarga/bulan. Dengan iuran yang cuma lima belas ribu rupiah, masih ada saja masyarakat yang menunggak membayar iuran JPKM, apakabar dengan premi BPJS yang jauh lebih mahal? Masih untung JPKM, meskipun menunggak tidak dikenakan denda, berbeda dengan BPJS yang memiliki kebijakan denda jika premi tidak dibayarkan sampai jangka waktu tempo. Buntung double sih ini namanya!


Masalah lain yang ingin penulis sampaikan, adalah dari pelayanan BPJS Kesehatan. Seperti yang ditetapkan dalam Pasal 29 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 peserta didaftarkan oleh BPJS Kesehatan pada satu Fasilitas Kesehatan tingkat pertama (Puskesmas, dokter keluarga atau praktek klinik) yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan setelah mendapat rekomendasi dinas kesehatan kabupaten/kota setempat. Peserta harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat Peserta terdaftar. Dalam hal Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, Fasilitas Kesehatan tingkat pertama harus merujuk ke Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan terdekat, dalam hal ini Rumah Sakit. (Lagi-lagi berdasarkan cerita Ibu) salah seorang teman beliau pernah menjadi korban dari buruknya pelayanan BPJS Kesehatan. Teman Ibu penulis (anggap saja Ibu R) mengalami gangguan pada salah satu telinga, ia pun berobat ke PPK 1 yang telah ditetapkan. Disana beliau diberi obat untuk waktu tiga hari. Namun, setelah obat itu habis pun gangguan pada telinganya tidak hilang, sehingga ia pun berobat kembali ke PPK 1. PPK 1 kemudian memberikan lagi obat yang sama, tapi sampai obat itupun habis penyakitnya tidak kunjung sembuh. Ibu R pun kembali ke PPK 1 untuk meminta rujukan ke PPK Lanjut, karena ia merasa tidak mendapatkan hasil dari pengobatan yang telah diterimanya, namun si doker pada PPK 1 malah menolak dan tidak mau memberikan rujukan. Akhirnya sampai saat ini, Ibu R kehilangan keseimbangan pada telinga¬nya, karena gendang telinganya robek sehingga pendengarannya jadi terganggu.


Kisah diatas sungguh mengelitik, bukan? Bagaimana bisa JKN yang notabenenya mempunyai niat mulia untuk menjamin kesehatan rakyatnya, malah memperparah kondisi kesehatan rakyat. Niat mulia JKN ini semakin dipertanyakan seiring makin banyaknya permasalahan pelaksanaan JKN di lapangan, belum lagi berbagai macam keluhan yang dikeluhkan oleh peserta terkait pelayanan kesehatan yang mereka terima. Memang benar, niat JKN ini mulia, namun dalam pelaksanaannya masih ada saja ketidaksesuaian dengan yang seharusnya sehingga menambah daftar keburukan JKN. Diharapkan pemerintah bisa lebih cerdas dalam mensikapi dan mencari pemecahan dari permasalahan yang dialami JKN didalam usianya yang hampir satu tahun ini, sehingga JKN yang berniat menjadi Angel tidak berubah menjadi.....


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline