Di sebuah desa terpencil di Papua, seorang ibu melahirkan di lantai tanah dengan bantuan bidan desa satu-satunya. Di sisi lain, di sebuah rumah sakit mewah di Jakarta, seorang pasien dengan flu ringan mendapatkan layanan dari tim dokter spesialis. Dua kisah ini menggambarkan wajah ganda sistem kesehatan Indonesia --- satu penuh akses dan kenyamanan, yang lain berjuang di tengah keterbatasan.
Ketimpangan distribusi sumber daya manusia (SDM) kesehatan di Indonesia bukanlah isu baru. Faktanya, lebih dari 40% puskesmas di Indonesia tidak memiliki tenaga kesehatan sesuai standar. Idealnya, setiap puskesmas membutuhkan minimal sembilan jenis tenaga kesehatan, termasuk dokter, perawat, bidan, dan tenaga farmasi. Namun, realitas di lapangan jauh dari itu. Di banyak daerah terpencil, fasilitas kesehatan sering kali hanya memiliki satu atau dua tenaga medis yang harus menangani berbagai jenis kasus tanpa dukungan memadai.
Rasio yang Menentukan Nasib
Menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio ideal adalah satu dokter untuk setiap 1.000 penduduk. Indonesia, negara dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, masih tertinggal jauh dengan rasio hanya 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Kesenjangan ini paling terasa di wilayah terpencil seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Daerah-daerah ini tidak hanya kekurangan tenaga kesehatan, tetapi juga sering menghadapi tantangan geografis dan minimnya infrastruktur yang membuat akses pelayanan kesehatan semakin sulit.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana nasib mereka yang hidup di luar pusat-pusat kota besar? Mengapa akses terhadap kesehatan, yang sejatinya adalah hak asasi, begitu timpang di negeri ini?
Ketimpangan yang Mematikan
Ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan berdampak langsung pada angka kematian yang seharusnya dapat dicegah. Dalam situasi darurat medis, keterlambatan penanganan sering kali menjadi perbedaan antara hidup dan mati. Bayangkan seorang pasien di daerah terpencil yang membutuhkan perawatan intensif tetapi harus menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan berhari-hari, untuk mencapai fasilitas kesehatan dengan dokter spesialis.
Selain itu, kualitas layanan kesehatan yang diterima masyarakat juga menjadi masalah besar. Di daerah perkotaan, masyarakat memiliki akses ke berbagai layanan spesialis dan teknologi medis canggih. Sementara itu, di daerah terpencil, bahkan untuk sekadar mendapatkan diagnosis yang tepat pun menjadi tantangan.
Mengurai Akar Masalah
Faktor ekonomi sering kali menjadi akar ketimpangan ini. Gaji rendah, fasilitas yang minim, serta kurangnya keamanan dan jenjang karier membuat tenaga kesehatan enggan bekerja di daerah terpencil. Selain itu, kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan tenaga kesehatan, termasuk akses pendidikan untuk anak-anak mereka, juga memperburuk situasi.
Tidak hanya itu, sistem pendidikan tenaga medis di Indonesia juga berperan dalam menciptakan ketimpangan. Biaya pendidikan kedokteran yang mahal membatasi akses bagi calon dokter dari latar belakang ekonomi rendah, terutama mereka yang berasal dari daerah terpencil. Akibatnya, tenaga kesehatan cenderung terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang menawarkan peluang ekonomi lebih baik.