Kebijakan politik etis yang dijalankan oleh pemerintah kolonial sebagai upayanya dalam 'membalas budi' dapat dikatakan berdampak panjang terhadap sejarah peradaban bangsa Indonesia. Golongan bumiputera yang pada saat itu merupakan kaum marginal tidak bisa mengenyam Pendidikan yang layak dan setelah adanya politik etis keadaan tersebut pun mulai berubah. Golongan bumiputera mulai diperbolehkan untuk mengenyam Pendidikan dan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda. Perkembangan tersebut mendorong munculnya golongan intelektual dari kalangan pribumi dengan pemikirannya yang sudah lebih modern. Pemikiran tokoh intelektual bangsa rata-rata dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang di Barat seperti demokrasi dan juga sosialisme. Pemikiran politik Indonesia mulai muncul pada masa pergerakan nasional yaitu pada awal abad ke-20 dan kemudian berkembang hingga ke era pasca kemerdekaan bahkan era modern saat ini.
Dalam buku karya Herbert Feith dan Lance Castles yang berjudul Indonesian Political Thinking 1945-1965 (Pemikiran Politik Indonesia 1045-1965) telah dijelaskan bahwa terdapat beberapa aliran pemikiran politik di dalam pemerintahan dan juga masyarakat pada era tersebut, yaitu nasionalisme radikal, sosialisme demokratis, komunisme, Islam, dan juga tradisionalisme Jawa. Pemikiran politik yang mendominasi di dalam masyarakat pun turut mempengaruhi corak dalam pemerintahan, di mana pada saat dilaksanakannya pemilu 1955 terdapat empat partai yang mendominasi. Partai tersebut adalah PNI, Nahdatul Ulama, Masyumi, dan juga PKI. PNI cenderung memiliki ideologi nasionalisme radikal yang pada saat itu identik dengan Soekarno sebagai salah satu petinggi partainya. Nahdatul Ulama dan juga Masyumi yang berlandaskan asas dan nilai-nilai agama Islam. Serta PKI yang pada saat itu memiliki massa yang besar dengan ideologinya komunis. Karena keberagaman ideologi dan pemikiran di masyarakat, Soekarno pun pernah menyampaikan mengenai gagasannya untuk menggabungkan ketiga ideologi besar saat itu dalam Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) serta berbagai hal yang menyeleweng dari ketetapan yang telah diatur dalam UUD 1945. Keadaan tersebut pun menjadi sumber kegoyahan dalam pemerintahan di era demokrasi terpimpin sebab terjadi beberapa pemberontakan yang disebabkan oleh adanya ketidakpuasan serta kekecewaan terhadap pemerintahan. Ditambah dengan kondisi di dalam pemerintahan dan kabinet yang kurang stabil sehingga sering mengalami pergantian dalam kabinet dan juga sistem pemerintahan. Kegagalan sistem pluralisme kepartaian ini menjadi suatu penyebab ketidakstabilan dalam pemerintahan karena konsensus sosial yang rendah di masyarakat terutama terkait dengan keputusan yang menyangkut ideologi dan pemikiran politik.
Pasca berakhirnya pemerintahan Soekarno pada era demokrasi terpimpin, pada era Orde Baru, corak politik dan pemerintahan di Indonesia mulai berubah haluan. Soekarno yang merupakan sosok yang anti terhadap Barat maka Soeharto sebaliknya. Pada era Soeharto, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam hal politik luar negeri Indonesia. Hubungan diplomatis dengen Malaysia yang sempat memburuk diperbaiki, kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan juga membuka kerja sama bidang ekonomi dengan membuka investasi asing, serta beberapa perubahan lainnya. Dalam ranah pemerintahan dalam negeri, Soeharto mengeluarkan beberapa kebijakan seperti melakukan penyederhanaan partai politik dengan tujuan untuk menjaga stabilitas pemerintahan serta memperkenalkan pada khalayak konsep demokrasi Pancasila yang dijadikan sebagai landasan pemerintahan di era orde baru. Pergantian kepemimpin dari era Soekarno dan Soeharto pada dasarnya tidak mengubah prinsip dan ideologi kepartaian yang sudah menjadi akar kuat fondasi dari partai yang telah ada saat itu. Sartori (1976) menyebutkan bahwa meskipun tidak secara gamblang, namun terdapat kecenderungan bahwa sistem multipartai moderat yang dikehendaki di dalam pemerintahan (dalam Marijan, 2010: 58). Dalam pelaksanaannya tetap ada partai yang memperoleh dukungan kuat dari publik dan mendominasi pemerintahan. Selain itu, ABRI pun diperkenankan untuk menduduki jabatan di kursi pemerintahan yang dikenal sebagai dwifungsi.
Meskipun demikian, orde baru yang dipimpin oleh Soeharto selama 32 tahun semenjak 1965 hingga 1998 harus berakhir karena desakan publik yang menuntut adanya reformasi dalam pemerintahan. Diawali dengan krisis ekonomi dan moneter yang terjadi pada tahun 1997 hingga menimbulkan keresahan pada masyarakat yang disebabkan harga barang yang semakin naik hingga tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Keadaan tersebut berujung pada krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Keadaan yang tidak kondusif tersebut pun semakin mendesak pemerintah untuk segera mengambil keputusan tegas. Tuntutan reformasi tersebut semakin nyata dan tercatat sebagai salah satu peristiwa koersif dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada akhirnya, 21 Mei 1998 Soeharto memutuskan mundur dari kursi Presiden yang menandai bahwa era orde baru yang otoritarin dan diwarnai dengan adanya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) telah berakhir dan menuju ke era reformasi yang diharapkan lebih demokratis.
Setelah era reformasi, pemerintah berupaya untuk memperbaiki dan tidak mengulang sejarah kegagalan dua rezim sebelumnya yang memiliki tendensi otoritarian sehingga publik kehilangan kepercayaannya terhadap pemerintahan. B.J. Habibie yang saat itu menjabat sebagai Presiden kemudian sesuai dengan judulnya harus menjalankan tuntutan reformasi yang di dalamnya berisi keinginan masyarakat Indonesia agar pemerintahan dalam terlaksana dengan lebih baik dan juga demokratis. Dalam artian pemerintah tidak bersifat otoriter dan melibatkan rakyat dalam pengambilan kebijakannya. Perubahan yang mulai tampak ketika era reformasi adalah adanya amandemen dalam beberapa pasal UUD 1945, menghapuskan dwifungsi ABRI dalam pemerintahan, pelaksanaan otonomi daerah, serta menegakkan supremasi hukum terkait dengan permasalahan hak asasi manusia, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Partai politik yang sempat dilarang dan juga dibatasi geraknya karena beberapa aturan di masa orde lama dan orde baru mendapatkan angin segar sebab didukung adanya kebebasan pers dan agenda mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Evereth Call Ladd (1970) bahkan pernah menyebutkan bahwa partai politik merupakan children of egalitarian, untuk menunjukkan pentingnya peranan partai politik dalam suatu negara yang demokratis. Selain iut, pada era reformasi, tepatnya pada pemilu tahun 2004 pula pertama kali dilaksanakan pemilihan umum secara langsung, di mana rakyat turut berpartisipasi dalam memilih calon wakilnya dalam pemerintahan. Mulai diperkenalkannya konsep electoral threshold sehingga terdapat persyaratan yang jelas mengenai partai yang berhak untuk turut serta dalam pemilu.
Dinamika yang terjadi dalam ranah politik dan kepartaian Indonesia memang menarik untuk dibahas dari sudut pandang sejarahnya. Dari pemaparan-pemaparan di atas dapat diketahui bahwa awal mula berkembangnya pemikiran politik dan ideologi di masyarakat adalah sejak adanya politik etis yang melahirkan kaum intelektual dalam diri bangsa. Mulai muncul kesadaran akan pentingnya memiliki rasa nasionalisme dan juga identitas nasional kebangsaan. Pergantian rezim pemerintahan pun turut mempengaruhi corak politik pemerintahan di dalam negeri bahkan dalam perjalanannya sempat terjadi beberapa peristiwa koersif yang juga tercatat dalam sejarah bangsa sebagai peristiwa yang mewarnai dinamika politik dan pemerintahan di tengah proses modernisasi. Adanya perubahan tersebut juga menandakan bahwa bangsa kita telah mengalami suatu perkembangan, tidak hanya dalam hal ekonomi namun juga sosial politiknya. Dari segi positifnya, peristiwa-peristiwa kelam yang tercatat dalam sejarah tersebut dapat dijadikan suatu pembelajaran oleh para pemimpin bangsa dan juga masyarakat pada umumnya untuk senantiasa bijak dalam menentukan langkah kita ke depannya agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.
Referensi:
Budiardjo, M. (2003). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama.
Marijan, K. (2010). Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Penerbit Prenadamedia Group.
Surbakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik. Penerbit PT Grasindo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H