Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan hal yang paling ditunggu oleh para pekerja/buruh di Indonesia setiap tahunnya. THR adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerja sebelum hari raya keagamaan.
Sejarah Terbentuknya Kebijakan Tunjangan Hari Raya
Pada mulanya, istilah Tunjangan Hari Raya belum dikenal di masyarakat Indonesia. Kebijakan mengenai upah tambahan menjelang hari raya di Indonesia bermula dari era Pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya era Perdana Menteri Keenam Indonesia, Soekiman Wirjosandjojo yang juga terafiliasi dari Partai Masyumi.
Pada tahun 1951, salah satu program kerja Kabinet Soekiman adalah meningkatkan kesejahteraan Pamong Praja (saat ini Pegawai Negeri Sipil), sehingga awal mulanya upah tambahan atau tunjangan menjelang hari raya ini hanya diperuntukkan kepada Pamong Praja saja.
Menurut Saiful Hakam, Peneliti muda LIPI dalam wawancaranya dengan Historia.id, besaran tunjangan yang dibayarkan saat itu sekitar Rp125-Rp200 (saat itu setara US$11 - US$17,5 atau sekarang sekitar Rp1.100.000 hingga Rp1.750.000) yang dibayarkan oleh pemerintah di setiap akhir bulan Ramadhan atau mendekati Hari Raya Idul Fitri. Selain itu, pemerintah juga memberikan tunjangan sembako berupa beras setiap bulannya.
Aturan mengenai pembayaran upah tambahan menjelang hari raya tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri pada era Kabinet Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Kedelapan Indonesia.
Menurut Pasal 6 PP 27/54 tersebut, tunjangan diberikan berbentuk Persekot atau Uang Muka yang kemudian dikembalikan melalui mekanisme angsuran dengan memotong gaji pegawai tiap bulannya selama enam kali. Dan apabila pegawai tersebut diberhentikan atau meninggal dunia, maka sisa persekot tadi ditagihkan ke ahliwarisnya.
Ditentang Kaum Buruh