Lihat ke Halaman Asli

Raden Zulfikar

Pekerja Teks Komersial

Sekarang Debt Collector maupun Polisi Tidak Boleh Sembarangan Melakukan Eksekusi Jaminan Fidusia

Diperbarui: 7 April 2022   16:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi jatuh tempo utang (adobe stock)

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia sering menimbulkan masalah dan merugikan pihak debitor. Dalam hal pihak debitor wanprestasi, pihak kreditor sebagai penerima jaminan fidusia sering menggunakan jasa pihak ketiga dalam melakukan eksekusi jaminan fidusia tersebut, seperti penagih utang (debt collector) atau Kepolisian setempat.

Pada tanggal 24 Februari 2022, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIX/2021 (“Putusan MK 71/2021”) terkait judicial review Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Pasal 30 beserta Penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”) terhadap Pasal 28D, 28G ayat (1), dan 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”). Di dalam putusannya, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, serta menyatakan frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 UU Jaminan Fidusia dimaknai sebagai “Pengadilan Negeri”.

Substansi Permohonan Judicial Review

Pasal yang diuji adalah Pasal 372 KUHP dan Pasal 30 UU Jaminan Fidusia serta Penjelasan Pasal 30 UU Jaminan Fidusia. Pemohon menilai pasal tersebut bertentangan dengan unsur perlindungan (khususnya perlindungan terhadap harta benda di bawah kekuasaannya) dan kepastian hukum, serta bertentangan dengan asas Due Process of Law.

  • Pasal 372 KUHP:

"Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan huku­man penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak Rp.900."


  • Pasal 30 UU Jaminan Fidusia:

"Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia."


  • Penjelasan Pasal 30 UU Jaminan Fidusia:

"Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang."


  • Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:

"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."­­­­


  • Pasal 28G ayat (1) UUD 1945:

"Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi."


  • Pasal 28H ayat (4) UUD 1945:

"Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun."


Pertimbangan Hukum

Dasar pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:

  • Berkenaan dengan judicial review atas norma Pasal 372 KUHP seperti yang dimohonkan Pemohon, secara fundamental akan mengubah konstruksi norma hukum yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP yang bersifat universal. Tindak pidana penggelapan tidak dapat hanya dikaitkan dengan jenis perbuatan hukum tertentu. Dengan demikian permohonan judicial review atas Pasal 372 KUHP tersebut ditolak.
  • Berkenaan dengan judicial review atas norma Pasal 30 UU Jaminan Fidusia beserta penjelasannya yang didalilkan oleh Pemohon, Mahkamah mengacu kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUUXVII/2019 (“Putusan MK 18/2019”) yang pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut:

Frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Pasal 15 ayat (2) dan frasa “cidera janji” dalam dalam norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 (meskipun tidak dalam materi pengujian namun akan berkaitan) dimaknai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitor keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia”. Maka eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.


  • Mahkamah juga menegaskan kembali melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 (“Putusan MK 2/2021”), yang pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut:

Pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia apabila berkenaan dengan cidera janji masih belum diakui oleh debitor dan debitor keberatan untuk menyerahkan secara sukarela objek dalam perjanjian fidusia, maka kreditor tidak boleh melakukan eksekusi sendiri secara paksa melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.


  • Perjanjian fidusia adalah hubungan hukum yang bersifat keperdataan (privat), oleh karena itu kewenangan aparat kepolisian bukan sebagai eksekutor, tetapi hanya terbatas mengamankan jalannya eksekusi bila diperlukan. Oleh karena itu, frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 UU Jaminan Fidusia harus dimaknai sebagai “pengadilan negeri”. Maka dalam melaksanakan eksekusi sertifikat jaminan fidusia, pihak kreditor harus mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi pada pokoknya memutuskan:

  1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian.
  2. Menyatakan frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 UU Jaminan Fidusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengadilan negeri”.
  3. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
  4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Implikasi Hukum

Putusan MK 71/2021 melengkapi permohonan judicial review atas UU Jaminan Fidusia yang sebelumnya telah dua kali diputus oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PUU-XIX/2021 tanggal 31 Agustus 2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUUXVII/2019 tanggal 6 Januari 2020. Mahkamah Konstitusi telah memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitor dan kreditor serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi dengan mengubah norma hukum atas pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia, sebagai berikut:

  • Irah-irah dalam Sertifikat Jaminan Fidusia tidak serta merta memiliki kekuatan eksekutorial.
  • Kreditor yang memegang Sertifikat Jaminan Fidusia tetap dapat melaksanaan eksekusi sendiri sepanjang:
    1. debitor mengakui adanya cidera janji (wanprestasi) atas perjanjian; dan
    2. debitor menyerahkan objek jaminan fidusianya secara sukarela.
  • Apabila debitor tidak mengakui adanya cidera janji (wanprestasi) dan keberatan menyerahkan benda yang menjadi jaminan fidusia secara sukarela, maka kreditor tidak boleh melakukan eksekusi sendiri, melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.
  • Kreditor tidak dapat meminta bantuan Kepolisian untuk melakukan eksekusi jaminan fidusia, dan dengan demikian Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Eksekusi Jaminan Fidusia tidak berlaku. Namun demikian, dalam hal terjadi penggelapan dan/atau penipuan atas objek jaminan fidusia, maka kreditor tetap dapat menempuh jalur pidana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline