Lihat ke Halaman Asli

Raden Nuh SH

Advokat, Senior Patner RDA Law Office & Rekan

Lex Non Semper Remedium: Hukum Tidak Selalu Memberikan Perbaikan

Diperbarui: 4 Juli 2023   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang kolega sebut saja namanya Robert asal Kanada pada akhir tahun 2019 pernah mengeluh kepada saya, "Raden, perusahaan saya sudah selama sepuluh tahun mencari keadilan di negara Anda, hasil yang diperoleh hanya kesia-siaan belaka. Uang habis, tenaga habis, waktu habis, sumber daya habis. Semuanya habis percuma.  Tanggal 1 November kemarin telah terbit putusan Mahkamah Agung yang menolak peninjauan kembali oleh lawan kami. Saya lalu minta pengadilan untuk menjalankan eksekusi putusan, ternyata perusahaan lawan kami telah tutup, tidak lagi beroperasi. Kerugian perusahaan miliaran rupiah yang seharusnya dibayar oleh pihak lawan, lenyap begitu saja. Apa yang harus saya lakukan, ke mana saya harus mengadu?"

Saya terdiam tak mampu berkata-kata mendengar keluh kesah sahabat saya Robert. Perusahaannya tidak sendiri mengalami nasib sial seperti itu. Banyak pencari keadilan (justibelen) setelah berjuang sekian lama menempuh jalur hukum di pengadilan akhirnya bernasib sama dengan perusahaan Robert:  Percuma.  Perjuangan mencari keadilan,  menempuh jalur hukum, mengharapkan suatu hari keadilan akan terwujud,  akan tetapi yang  datang hanya kehampaan belaka.

Hukum tidak selalu memberi perbaikan, lex non semper remedium. Ini kebalikan ungkapan tentang hukum yang berbunyi,"Lex  semper dabit remedium, hukum selalu memberikan perbaikan". Bagi mahasiswa hukum atau praktisi hukum yang baru memulai karir sebagai advokat, polisi, jaksa atau hakim mungkin ungkapan lex semper dabit remedium  dianggap sebagai suatu yang nyata padahal ungkapan itu sejalan dengan waktu akan terbukti lebih merupakan ilusi dan fantasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia tercinta ini.

Teman saya Robert pantas merasa frustrasi, sepuluh tahun mengharap kerugiannya dibayar, yang didapat malah kerugian yang semakin besar. Tidak ada kepastian hukum, tidak ada  keadilan, yang pasti hanya kerugian dan kerugian belaka.

Lalu di mana salahnya?

Siapa yang salah?

Apa yang salah dengan negara Republik Indonesia ini?

Jangan suruh Robert untuk bertanya kepada rumput yang bergoyang!

Hukum dan Keadilan Harganya Mahal

Ketika Anda merasa dirugikan karena mitra atau debitur tidak menepati janji membayar utang kepada Anda, apa yang dapat Anda lakukan? Jika ada aset debitur sebagai jaminan pembayaran utang, maka Anda boleh bernafas 'sedikit' lega. Anda bisa ajukan penyitaan atas aset jaminan utang tersebut ke pengadilan, lalu berharap pengadilan segera melakukan lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Kalau nasib lagi baik, aset jaminan debitur dapat terjual dan uang hasil lelang aset diserahkan kepada Anda sebagai pembayaran utang si debitur.

Prosesnya mulai pengajuan permohonan eksekusi hingga uang hasil lelang diterima tidak sebentar. Lama. Berbulan-bulan. Biayanya? Pasti relatif  besar. Sekali lagi Anda hanya menghabiskan uang, waktu, tenaga dan sumber daya untuk memperoleh hak Anda yang pada akhirnya belum tentu dapat diperoleh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline