Lihat ke Halaman Asli

Raden Nuh SH

Advokat, Senior Patner RDA Law Office & Rekan

Cawe-cawe dan Anomali Politik Indonesia

Diperbarui: 30 Juni 2023   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden SBY dalam buku elektronik (e-book) yang viral berjudul "Pilpres 2024 dan Cawe-cawe Presiden Jokowi" telah menjelaskan panjang lebar tentang makna kata "cawe-cawe" (campur tangan, ikut campur; bahasa Jawa).

Sedangkan kata "anomali" yang sudah akrab di telinga kita bermakna tidak normal, kelainan, penyimpangan, keanehan atau tidak lazim, tidak biasa dan seterusnya.

Dalam tulisan ini saya tidak membahas cawe-cawe melainkan tentang anomali khususnya anomali politik Indonesia (baca: di Indonesia) berkaitan dengan calon presiden dan calon wakil presiden yang berkompetisi dalam pemilihan presiden (pilpres) pasca orde baru atau selama era reformasi.

Mungkin hanya segelintir rakyat Indonesia khususnya rakyat pemilih yang sadar pilpres di Indonesia diwarnai banyak anomali politik. Tidak sadar banyak keganjilan atau keanehan yang tidak lazim dalam dunia politik di Indonesia khususnya dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Ketidaksadaran rakyat pemilih ini dapat disebut sebagai anomali politik yang pertama.

Anomali politik kedua adalah para capres dan cawapres bukan ketua umum partai politik atau setidak-tidaknya kader utama partai politik.

Presiden Jokowi saat diusung sebagai capres pada pilpres 2014 bukan seorang kader apalagi ketua umum partai. Beliau diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai calon gubenur dalam pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dan sebagai capres pada pilpres 2014 padahal bukan seorang kader utama PDIP. Pendamping Jokowi dalam Pilpres 2014 yaitu Jusuf Kalla pada saat itu bukan Ketua Umum Partai Golkar.

Berbeda dengan Prabowo -- Hatta Rajasa yang merupakan lawan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 masing-masing menjabat sebagai Ketua Umum Partai Gerindra dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).

Pilpres 2014 mengantarkan Jokowi -- JK yang bukan ketum partai politik memegang jabatan Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019. Anomali politik ini berlanjut dalam Pilpres 2019 di mana pasangan Jokowi-Maruf maju sebagai pasangan capres -cawapres dan menang melawan Prabowo-Uno, di mana Sandi Uno juga bukan seorang ketua umum partai politik.

Mengapa pengusungan capres -- cawapres yang bukan kader utama partai politik disebut anomali politik? Karena pencalonan mereka menegasikan eksistensi suatu partai politik di sebuah negara yang mengaku menganut demokrasi seperti negara Republik Indonesia.

Terpilihnya figur non partai sebagai capres-cawapres bahkan dapat memenangkan pemilihan presiden membuktikan kegagalan partai menjalankan fungsi utamanya sebagai institusi politik yang mempersiapkan calon pemimpin rakyat. Partai politik di Indonesia berubah fungsi dari institusi pengkaderan politik menjadi perusahaan broker politik.

Anomali ketiga adalah ketua umum partai politik yang dijabat seumur hidup sebagaimana terlihat jelas di PDIP dan Gerindra. Megawati dan PDIP atau Prabowo dan Gerindra seolah-olah dua sisi dari sebuah koin. Tak tergantikan atau tidak mau menyerahkan jabatan ketum partai kepada kader utama partainya. Kedua partai politik ini seperti badan usaha CV atau UD (usaha dagang) yang dimiliki sepenuhnya oleh ketua umum partai. Disebut anomali politik dikarenakan fungsi utama partai politik adalah pengkaderan pemimpin. Artinya kedua partai itu gagal dalam mencetak pemimpin partai sehingga bagaimana mungkin diharapkan dapat mencetak pemimpin rakyat-bangsa-negara?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline