Beda ORBA (Orde Baru) beda pula era reformasi. Di masa Pak Harto memimpin negara seluruh pejabat pemimpin lembaga negara, pemimpin pemerintahan baik kepala instansi pemerintah pusat seperti menteri, kepala badan mau pun pemimpin daerah seperti gubernur, bupati atau wali kota tidak bisa seenaknya memecat, mencopot atau membebas tugaskan seorang pejabat bawahannya. Meski pun undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pegawai negeri sipil (PNS) -- sekarang telah diubah sebutannya jadi aparatur sipil negara (ASN) di era Suharto lebih sedikit dibanding era Jokowi akan tetapi para pejabat pemimpin lembaga negara dan instansi pemerintah taat asas dan patuh menjalankan ketentuan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di masa ORBA tidak pernah terdengar seorang menteri, gubernur, bupati atau wali kota menerbitkan surat keputusan tentang pemberhentian atau pembebasan tugas dari jabatan seorang pejabat bawahannya yang kemudian diketahui surat keputusan itu dibuat asal-asalan tidak sesuai tata cara yang diatur dan ditentukan dalam undang-undang yang mengakibatkan surat keputusan menjadi cacat hukum atau batal demi hukum, seperti yang sekarang di era reformasi banyak terjadi di antaranya yang terakhir mencuat jadi isu publik adalah Keputusan Gubernur Sumatera Utara tentang Pembebasan Tugas dari Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama Ir. Bambang Pardede M.Eng Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (Kadis PUPR) Sumatera Utara.
Keputusan Gubernur Sumut Cacat Yuridis Formil
Sebagai pemimpin tertinggi pemerintah provinsi, seorang gubernur dalam menjalankan tugasnya didukung oleh perangkat pemerintahan yang lengkap guna memastikan efektivitas kepemimpinannya dan menghindari terjadi kesalahan terutama yang berkaitan dengan kewenangan dan hukum. Tidak boleh ada sedikit pun ruang dan peluang untuk berbuat salah, melampaui kewenangan, melanggar hukum atau cacat dalam setiap kebijakan atau produk hukum yang diterbitkannya.
Diskresi atau kebijakan khusus yang diputuskan seorang gubernur pun harus jelas dasar hukumnya agar dikemudian hari tidak jadi beban yang dapat dipergunakan sebagai dasar bagi aparat hukum menjadikan gubernur tersebut sebagai tersangka korupsi.
Singkatnya, seorang gubernur (juga bupati dan wali kota) tidak boleh buat salah khususnya dalam menerbitkan suatu surat keputusan atau sejenisnya (peraturan, instruksi, surat edaran) karena ada pintu penjara yang siap menunggu gubernur tersebut dijebloskan ke dalamnya, sebagaimana terdapat dalam Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 100.3.3.1/2344/V/2023 tanggal 17 Mei 2023 Tentang Pembebasan Tugas dari Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama Ir. Bambang Pardede M.Eng Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (Kadis PUPR) Sumatera Utara.
Gubernur Sumut Tidak Paham Makna Diktum dalam Keputusan
Keputusan GUBSU No. 100.3.3.1/2344/V/2023 tanggal 17 Mei 2023 jelas dan nyata dibuat tidak sesuai ketentuan undang-undang di dalamnya terdapat banyak kesalahan. Mulai dari titel atau judul keputusan gubernur hingga diktum "menetapkan" yang terdapat dalam keputusan gubernur.
Tidak perlu harus seorang pakar hukum untuk mengetahui banyak cacat yuris formal terdapat dalam keputusan gubernur tersebut, orang awam yang membaca keputusan gubernur pasti langsung menemukan cacat formil yang terdapat dalam surat keputusan.
Lihat saja judul atau titel Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 100.3.3.1/2344/V/2023 tanggal 17 Mei 2023 tercantum: "Tentang Pembebasan Dari Tugas dan Jabatan JPT (Jabatan Tinggi Pratama)", sedangkan sedikit di bawah judul Keputusan yakni pada diktum "MENIMBANG" tercantum: " ...Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang namanya tercantum dalam lampiran ..."