Mungkin tidak banyak rakyat Indonesia tahu untuk apa sebenarnya Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia diciptakan, mendapat tempat khusus dalam konstitusi hasil amandemen ketiga, akan tetapi semakin lama tidak terasa manfaatnya bagi rakyat khususnya para pencari keadilan (justibelen), apalagi konstribusi KY dalam mewujudkan lingkungan dan lembaga peradilan Indonesia yang bersih, jujur, kredibel, bermartabat, terhormat, dan berwibawa.
Paling hanya segelintir rakyat yang paham, sisanya pusing tujuh keliling karena sudah mikir keras tapi tak ketemu jawabannya.
Setelah dinyatakan eksistensinya melalui Pasal 24 B UUD 1945 hasil amandemen ketiga pada tahun 2001, Komisi Yudisial Republik Indonesia mulai beroperasi pasca pengesahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) pada tanggal 13 Agustus 2004, di mana Busyro Muqoddas terpilih sebagai Ketua KYRI pertama (Periode 2005-2010)
Di masa awal beroperasi, KY bak macan kertas: nama mentereng tapi kewenangan tak jelas alias terbatas. Pasalnya sebanyak 31 hakim agung kompak sepakat mengajukan uji materi atas UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial kepada Mahkamah Konstitusi. Para hakim agung yang mulia tersebut gerah dengan kewenangan KY dalam pengawasan dan penjatuhan sanksi terhadap oknum hakim berperilaku korup / jahat (tercela).
Objek sasaran uji materi sebagaimana terdapat dalam surat pengajuan judicial review dalam perkara No. 5/PUU/IV/2006 adalah pasal-pasal yang mengatur dan memberi kewenangan bagi KY untuk mengawasi hakim dan menjatuhkan sanksi terhadap hakim korup / tercela termasuk terhadap hakim agung dan hakim konstitusi.
Hasilnya, MK RI mengabulkan sebagian permohonan uji materi di mana segala kewenangan KY yang sebenarnya sengaja diberikan oleh rakyat untuk dapat dipergunakan dalam mengatasi kerusakan moral dan perilaku korup hakim dan lembaga peradilan Indonesia, kemudian dikebiri dan dicukur habis melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU/IV/2006.
Semua pasal yang memberi kewenangan KY dalam menjaga kehormatan dan martabat hakim/hakim agung dinyatakan oleh putusan MK adalah bertentangan dengan konstitusi alias dinyatakan tidak memgikat secara hukum (baca: tidak berlaku).
Harapan seluruh rakyat Indonesia akan terwujudnya perilaku hakim yang terpuji dan lembaga peradilan yang kredibel, layu sebelum berkembang diterjang putusan MK.
Cita-cita Reformasi 98 Mati Tenggelam
Putusan MK RI No. 5/PUU/IV/2006 merupakan lonceng kematian cita-cita gerakan Reformasi 1998. Lonceng kematian pertama.
Pengebirian kewenangan Komisi Yudisial mengakibatkan bangsa dan rakyat Indonesia tidak memiliki senjata / solusi efektif dalam upaya penegakan hukum dan mewujudkan keadilan, dikarenakan KY sebagai lembaga negara di luar Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tak lagi punya kuasa untuk memperbaiki lembaga peradilan Indonesia yang korup, tidak pula berwenang menjatuhkan sanksi terhadap para hakim tercela, korup dan jahat -- musuh rakyat Indonesia.