Lihat ke Halaman Asli

Eka Yuda Danu Suma

Setiap pemenang pasti penuh dengan luka, karena hidup berarti perjuangan.

Vonis Sang Dokter

Diperbarui: 31 Januari 2022   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Part 2

Pukul 22.00 WIB aku sudah di ruang rawat inap setelah sebelumnya aku mampir di IGD untuk pertolongan selanjutnya sambil menunggu Bapak mengurus administrasi. Panik dan lelah membuat wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya yang telah memasuki lebih setengah abad. 

Aku merasa bersalah, lebih tepatnya merasa berdosa karena telah membuatnya kerepotan seperti ini. Belakangan aku sadari bahwa memang kita akan selalu dan pasti merepotkan orang tua kita, karena itu pula ridho orang tua adalah ridho Ilahi.

Lebih satu jam berlalu aku masih sibuk menenangkan diri mencoba mengalihkan ketakutan pasca kejadian ini. Pikiranku saling diskusi tanpa kendali. Lamunanku buyar ketika kudengar pintu ruangan dibuka oleh suster. 

Melalui selang infus Ia menyuntikkan semacam pereda nyeri, seraya melempar senyum ia berkata agar aku bisa cepat istirahat. Benar saja, tak lama setelah itu mataku mulai meredup dan mulutku menguap, senyum suster itu masih melekat hingga kantukku tiba.

*****

Dari balik kaca pintu itu aku melihat ibu berdiri dengan mata yang sembab. Sesekali tangannya menyeka air mata yang jatuh. Ia menunggu untuk masuk, namun ruangan masih dibersihkan.

Sebenarnya Ibu ingin ikut semalam, namun Bapak menenangkannya dengan mengatakan kalau aku baik-baik saja.

"Owalah Le...kenapa bisa gini sih"

"Jadi gimana ? mana yang sakit?"

Aku terdiam. Tak kujawab tanya itu. Aku mengedarkan pandangan pada seisi ruangan, mengabaikan sakit menahan haru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline