[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="http://www.demokrat.or.id/wp-content/uploads/2013/03/SBY-300x300.jpg"][/caption] Jika menilik ke belakang, sudah berbulan-bulan sejak terakhir ribut pencabutan/pengurangna subsidi BBM tahun 2012 lalu. Namun sampai detik ini tak ada keputusan tegas dari pemerintah tentang bagaimana upaya menyelamatkan APBN dari defisit sekaligus formula yang tepat untuk menjalankan pengurangan beban subsidi BBM. Sebentar pemerintah mengatakan kurangi subsidi bagi pengguna mobil pribadi, sehingga bensin premium menjadi dipasarkan dengan dua harga. Sebentar kemudian rencana berubah lagi, semua bensin jenis premium dinaikkan(dikurangi subsidi nya) tanpa terkecuali. Opsi kedua inilah yang katanya akan diambil akhirnya. Dengan kenaikan berkisar 1000-1500 rupiah, dikatakan pemerintah bisa menghemat sampai Rp 30 Triliun, dibanding menerapkan bensin 2 harga pemerintah hanya bisa menghemat 21 Triliun dgn segala kerumitan mekanisme di lapangan.
Sejatinya, defisit APBN adalah hal yang sangat lumrah bahkan hampir semua negara dengan ekonomi sehat dan bertumbuh menerapkan kebijakan APBN defisit. Defisit APBN mengindikasikan bahwa belanja negara melebihi kemampuan nya dalam meraup penerimaan melalui pajak, migas dan sebagainya. Hal tersebut dipandang positif karena kekurangan tersebut biasanya dikarenakan pembangunan dan belanja modal pemerintah yang sangat besar, akibatnya kondisi infrastruktur ekonomi menjadi lebih baik menggerakkan roda ekonomi dan investasi.
Lalu apa yang salah dengan APBN Indonesia, bukankah kita juga defisit, apa yang perlu ditakutkan pemerintah? Yang ditakutkan adalah karena defisit yang kita alami bukanlah defisit yang produktif, melainkan defisit yang sia-sia. Sia-sia karena sebagian besar justru dijadikan pemborosan berupa pemberian subsidi BBM kepad rakyat mampu yang sebenarnya sanggup membeli BBM tanpa subdisi. Ditambah lagi dengan belanja beban utang negara yang mencapai kisaran 150-200 Triliun untuk pembayaran angsuran pokok dan bunga setiap tahun nya. Defisit APBN kita sangat tidak sehat karena pos anggaran pembangunan Infrastruktur lebih rendah dibanding subsidi BBM untuk orang mampu. Singkat kata, negara ini lebih memilih menghabiskan uang demi memanjakan orang mampu, tapi mengesampingkan kepentingan yang lebih besar berupa pembangunan sektor infrasturktur, kesehatan masyarakat, dan pendidikan.
Nah, atas dasar inilah katanya pemerintah perlu mengurangi beban subsidi. Apakah benar seperti itu? Menurut saya tidak.
Pertimbangan utamanya adalah strategi politik ditengah kompetisi kejam menjelang 2014. Menurut kementerian perekonomian dan ESDM dana yang dihemat sebesar 30 Triliun akan disisihkan sebagian untuk memberikan kompensasi agar dampak kenaikan BBM tidak terlalu dirasakan Masyarakat Miskin. Lalu berapakah jumlah dana kompensasi tersebut? Menurut data perkiraan perhitungan Menteri Sosial pada tahun lalu(pada saat rencana kenaikan BBM 2012) jumlah penerima BLT bertambah dibanding pada saat kenaikan sebelumnya tahun 2005. Diperkirakan dengan jumlah nominal BLT sebesar Rp 150.000/bulan selama April s.d Desember 2012 maka total jumlah dana yang dicairkan untuk BLT adalah sebesar 25 Triliun. Maka dengan asumsi yang sama, kita bisa memperkirakan dana BLT yang akan dicairkan tahun ini minimal sama dengan tahun lalu, 25 Triliun.
Logika saya, jika kata kunci yang digunakan pemerintah menjadi dasar pengurangan subsidi adalah 'penghematan', maka angka penghematan sebesar 30 Triliun dan 25 diantaranya dipakai untuk dibagi-bagikan secara cuma-cuma ke masyarakat sangat tidak masuk akal.
Tujuan utama pencabutan/pengurangan subsidi adalah pengalihan alokasi dana subsidi yang mubadzir menjadi dana yang lebih produktif di APBN baik dari sisi sosial maupun ekonomi, contohnya dana pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Namun jika penghematan tersebut malah justru dialihkan ke BLT, lalu dimana kata 'hemat' nya?
katakanlah sisa 5 Triliun dialihkan untuk pembangunan, berapa sih panjang jalan atau jumlah jembatan yang bisa dibangun di seluruh negara ini dengan uang 5 Triliun? apakah sebanding pembangunan 5 Triliun dgn dampak sosial terkait kenaikan BBM, atau dengan terkurasnya waktun dan pikiran kita selama berbulan-bulan?
Intinya, tujuan pemerintah tentang penghematan menjadi absurd. Dan bagi saya, ini semua hanya trik. SBY dan Demokrat sebenarnya membuat drama polemik subsidi ini selama berbulan-bulan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari tujuan mereka sebenarnya, bahwa pencabutan subsidi sebenarnya adalah untuk melegalkan pembagian uang tunai menjelang 2014 bernama BLT. Logika nya dibalik, yang tadinya Subsidi BBM mengakibatkan pemerintah memberikan BLT namun menjadi karena Pemerintah merasa perlu memberi BLT maka subsidi BBM dicabut sebagai pembenaran. Kita dibuat ribut tentang mekanisme pengurangan, nominal kenaikan, dampak sosial dan sebagainya hanya untuk membuat kita terkecoh, bahwa dari uang yang katanya 'dihemat' sebesar 30 Triliun 25 Triliun nya dihabiskan justru untuk sesuatu yang tidak 'hemat' yang lebih kental nuansa politiknya ketimbang manfaat ekonomis nya.
Kesimpulan saya cukup jelas, bahwa BLT lah alasan utama pemerintah mengurangi subsidi BBM, bukan sebaliknya. BLT dijadikan sarana mendapatkan kembali simpati masyarakat ditengah terpuruknya polularitas pemerintah, Presiden, dan partai penguasa. Penghematan itu cuma tipu-tipu, omong kosong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H